Jumat
petang. Penulis akan meninggalkan gedung tempat penulis berkantor. Saat itu
lepas magrib. Salat Magrib telah penulis tunaikan. Kantong dirogoh, aplikasi
Gojek dibuka, Gojek dipesan.
Awalnya
semuanya berjalan lancar. Penulis duduk di belakang supir seraya menikmati
pemandangan di sebelah kanan dan kiri. Cuaca pun cerah.
Tiba-tiba,
mendadak motor berhenti. Si supir memeriksa sebentar. Ternyata, radiator sepeda
motor mengalami masalah sehingga motor tidak lagi dapat berfungsi. Untungnya,
si supir baik hati. Ia menggratiskan tarif seraya mempersilakan saya untuk
memesan Gojek lain.
Peristiwa
itu terjadi di sebuah kawasan di Jakarta Selatan. Meski pernah beberapa kali
melewati kawasan ini, tetap saja daerah itu relatif asing bagi penulis. Maka
tak heran timbul perasaan waswas. Namun perjalanan tetap harus dilanjutkan,
bagaimana pun caranya.
Maka
penulis pun menyusuri Trotoar. Tak lama kemudian, penulis menemukan bagunan
yang di atasnya tertempel logo sebuah
toko farmasi yang cukup terkenal. Maka, tanpa ragu-ragu penulis melangkah masuk
ke dalam bangunan itu. Sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun cukup
besar untuk rata-rata ukuran toko yang pernah penulis temui. Di dalam took,
penulis membeli sejumlah obat. Setelah itu, penulis duduk di sebuah bangku dan
memesan Gojek. Tak lama kemudian, Gojek yang siap mengantar penulis pulang
telah tiba.
Penulis
sangat mengapresiasi sikap supir Gojek yang radiator motornya rusak itu. Bagi
penulis, ia sadar dengan tanggung jawab yang diembannya. Ia bertanggung jawab
memastikan penumpang yang dibawanya sampai di tujuan dengan selamat. Bila ia
berhasil melaksanakannya, ia berhak mendapatkan imbalan, dalam hal ini berupa
ongkos dari penumpang. Namun bila sebaliknya, ia tidak layak memperolehnya,
bahkan dapat dikenai sanksi. Dalam hal ini, ia menggratiskan biaya menumpang
Gojek bagi penulis.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab memiliki arti keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. Kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan,
dan sebagainya. Termasuk tidak memperoleh imbalan apapun akibat kegagalan menanggung sesuatu yang dibebankan.
Juga rela segala fasilitas dan kenikmatan yang diperoleh yberkaitan dengan
tanggung jawabnya dicabut. Contoh sederhananya, seorang supir digaji untuk bertanggung jawab mengantar dan menjemput
anak majikannya ke dan dari sekolah. Ia harus memastikan bahwa si anak bisa
tiba di sekolah dan pulang ke rumah dengan selamat. Jika terjadi apa-apa dengan
si anak, si supir harus siap untuk tidak digaji, bahkan diberhentikan dari
pekerjaannya.
Sayang sekali, di negeri tercinta ini masih banyak orang yang tidak menyadari atau tidak peduli dengan soal tanggung jawab ini. Artinya, mereka tidak mau menerima konsekuensi dari sikap, perbuatan, dan kebijakan yang mereka telurkan sendiri. Sebagai contoh, banyak pejabat yang tidak mau mundur meski terus menjadi sorotan publik karena dianggap gagal menjalankan tugasnya. Kalaupun mundur, ia melakukannya dengan terpaksa karena desakan yang begitu kuat. Mereka enggan melepaskan jabatan karena masih ingin menikmati berbagai fasilitas dan prestise. Sedangkan bila ia berhenti, segala fasilitas tersebut harus ditarik dari dirinya.
Sayang sekali, di negeri tercinta ini masih banyak orang yang tidak menyadari atau tidak peduli dengan soal tanggung jawab ini. Artinya, mereka tidak mau menerima konsekuensi dari sikap, perbuatan, dan kebijakan yang mereka telurkan sendiri. Sebagai contoh, banyak pejabat yang tidak mau mundur meski terus menjadi sorotan publik karena dianggap gagal menjalankan tugasnya. Kalaupun mundur, ia melakukannya dengan terpaksa karena desakan yang begitu kuat. Mereka enggan melepaskan jabatan karena masih ingin menikmati berbagai fasilitas dan prestise. Sedangkan bila ia berhenti, segala fasilitas tersebut harus ditarik dari dirinya.
Di Jepang atau Korea Selatan (Korsel),
jamak kita temui pejabat yang mengundurkan diri dengan sukarela karena merasa
dirinya gagal mengemban amanah. Penulis pernah mendengar cerita seorang Menteri
Perhubungan Jepang mengundurkan diri hanya kara terjadi kecelakaan kereta.
Padahal bila diselidiki lebih lanjut, belum tentu kecelakaan itu diakibatkan
oleh kesalahannya. Namun ia sadar bahwa tanggung jawab tertinggi masalah
transportasi ada padanya.
Terakhir, seseorang boleh saja lolos
dari kewajiban bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahannya di dunia ini.
Mungkin dia punya uang, koneksi, kemampuan bersilat lidah, dan sebagainya.
Namun tiada satu manusia pun yang dapat lepas dari tanggung jawab di hari
kemudian, di pengadilan yang dipimpin oleh Yang Maha Adil. Pengadilan yang tak
mengenal lagi mafia, uang suap, nepotisme, dan kolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar