Pada
suatu pagi yang cerah, penulis berangkat ke tempat kerja dengan kondisi kurang
bergairah. Namun penyebabnya bukanlah lantaran beban pekerjaan yang menumpuk.
Bukan pula lantaran suasana di tempat kerja, di rumah, di jalan raya, atau di
tempat lain. Penyebabnya adalah rasa nyeri pada bagian selangkangan yang mulai
terasa sejak hari sebelumnya. Meski kondisi sudah membaik, namun rasa sakit itu
masih terasa. Entah apa penyebabnya.
Yang jelas, akibat rasa nyeri tersebut, penulis berjalan sedikit pincang dan
tentu saja lebih lambat. Untuk mengatasi
rasa nyeri ini, pemulis meminum obat penghilang rasa nyeri.
Tak
dinyana, saat berjalan kaki menuju tempat kerja, seseorang menyapa penulis saat
kami sedang berpapasan. Penulis tidak mengenalnya karena ia menggunakan penutup
kepala. Setelah ia membuka penutup kepalanya, penulis tetap tidak mengenalnnya.
Barulah setelah ia menyebutkan namanya, penulis langsung ingat. Dalam hal
mengingat-ingat wajah orang lain, penulis tidak pandai. Penulis justru lebih
pandai mengingat-ingat nama seseorang. Barangkali hal ini berkebalikan dengan
orang banyak. Maklumlah penulis
mengalami gangguan penglihatan yang sifatnya permanen.
Kami
berdua adalah anggota sebuah klub pidato. Klub ini mempunyai misi untuk
meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum dan juga kemampuan memimpin. Namun
teman penulis itu belum lama bergabung dengan klub kami. Ini satu alasan lagi
mengapa saya tidak mengingatnya.
Bisa
saja penulis berkeluh kesah tentang rasa nyeri yang penulis derita. Pun penulis
bisa meminta izin untuk tidak masuk kerja dan pergi ke dokter. Namun penulis
tidak melakukannya. Toh rasa sakit yang hinggap di selangkangan ini masih
tertahankan. Barangkali jika tetap tinggal di rumah, penulis tidak akan
berjumpa dengan teman penulis itu. Penulis selalu merasa bahagia jika ada orang
yang lebih dulu menyapa penulis saat kami tidak sengaja berpapasan.
Bagi
banyak orang, apa yang penulis ceritakan di atas barangkali masalah sepele. Namun
bagi penulis, ada satu pelajaran sederhana yang bisa dipetik: Kalau penulis
tidak masuk kerja, penulis tidak akan berjumpa dengan teman satu klub itu. Penulis
mencoba berpikir bahwa di balik hal-hal yang tidak mengenakkan, selalu terdapat
hal baik yang bisa dipetik. Dengan kata lain, penulis berusaha memusatkan
perhatian pada hal-hal positif. Dalam hal ini, penulis jelas masih jauh dari
sempurna sehingga tidak layak dijadikan teladan. Yang bisa penulis lakukan
adalah mengajak orang lain agar terus mencoba dan berusaha.
Kemampuan
untuk lebih memusatkan diri pada hal-hal positif adalah salah satu bentuk
kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta
mengontrol emosi dirinya
dan orang lain di sekitarnya. Kecerdasan emosional terbukti berperan
lebih penting sebagai penentu kesuksesan seseorang ketimbang kecerdasan
intelektual. Artinya seseorang dengan prestasi akademis biasa-biasa saja (tidak
jeblok) namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih sukses dalam
pekerjaannya ketimbang orang yang prestasi akademisnya mentereng namun
kecerdasan emosionalnya rendah.
Orang yang rajin mencari dan berfokus pada hal-hal positif
tidak akan renggelam dengan masalah yang ia hadapi. Baginya, sia-sia saja
meratapi masalah. Toh masalah tidak akan menghilang dengan sendirinya. Suka
atau tidak suka, ia akan tetap menghantui jika tidak dicarikan jalan keluar. Contoh
sederhana adalah saat penulis terkena penyakit asam urat. Akibat penyakit
tersebut, kaki terasa sangat nyeri sehingga penulis nyaris tidak bisa berjalan.
Kala itu, bisa saja penulis hanya istirahat di tempat tidur tanpa melakukan
apapun, tenggelam dalam kesedihan, dan marah-marah. Namun penulis sadar tidak
ada gunanya melakukan itu semua lantaran rasa nyeri tidak akan hilang tanpa
pengobatan. Pun tidak akan lenyap seketika. Menghadapi kesakitan ini, penulis
memutuskan untuk pertama, memperbanyak doa. Kedua, memperbanyak membaca
tulisan-tuliasn yang bermanfaat. Dan ketiga, memperbanyak menonton program-program
yang bermanfaat di televisi. Dengan melakukan ketiga hal itu, hati menjadi
lebih tenteram. Ilmu pun makin bertambah.
Jadi janganlah terbenam dalam masalah. Keluarkanlah kepala
kita. Carilah mutiara-mutiara di kubangan lumpur masalah.