Sabtu, 11 Juli 2015

Kritis dan Sinis



Beberapa waktu lalu, laman www.rmol.com menurunkan berita tentang pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Gerindra Ahmad Muzani. Muzani mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, tahu posisi bahwa Joko Widodo (Jokowi) adalah presiden sehingga harus diberi kesempatan untuk mengatur negara. Menurut Muzani, Prabowo lebih senang menyampaikan kritik melalui fraksi Gerindra di DPR RI. Posisi  Prabowo sebagai ketua umum, lanjutnya, tidak perlu selalu menanggapi semua isu yang berkembang secara langsung melalui media massa. Lebih lanjut Muzani menambahkan, Partai Gerindra tidak akan membiarkan rakyat terus tidak dipedulikan oleh pemerintah. Sementara yang bisa dilakukan partainya adalah sebatas mengingatkan dan mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan.
Setahun telah berlalu sejak negeri ini menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres) tersengit dalam sejarah. Banyak sudah kritik dialamatkan kepada pemerintahan Jokowi-JK, pasangan yang memenangi pilpres itu. Yang terbaru berkaitan dengan masalah lambatnya pertumbuhan ekonomi dan kinerja kabinet. Namun banyak pula yang masih memberikan penghargaan dan pujian. Kelompok ini mengemukakan hal-hal yang dianggap sebagao prestasi Jokowi-JK.
Tulisan ini tidak akan mengulas masalah dan pekembangan politik negeri ini. Penulis yakin banyak orang yang lebih pandai melakukannya. Yang jelas, kritik sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pimpinan negeri ini. Tradisi ini dimulai di era reformasi, saat keran kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat dibuka lebar-lebar. Mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Jokowi.  Semuanya tidak luput dari kritik yang bertubi-tubi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Orang yang biasa melakukan kritik disebut kritis. Kembali merujuk kepada KBBI, kritis mengandung tiga pengertian. Pertama, bersifat tidak lekas percaya. Kedua, bersifat selalu menemukan kesalahan dan kekeliruan. Dan ketiga, adalah tajam di penganalisisan.
Berdasarkan pengertian kritik dan kritis di atas, sikap kritis dan kritik tentu baik, bahkan diperlukan sehingga wajib selalu dilakukan. Tujuannya jelas: agar yang dikritik lebih berhati-hati dalam bertindak dan membuat kebijakan. Jangan sampai tindakan dan kebijakan yang diambil hanya menguntungkan segelintir orang namun merugikan banyak orang. Hal ini lantaran setiap pikiran, ucapan, dan tindakan manusia, selama masih bersumber dari manusia akan senantiasa mengandung kekurangan. Lain halnya dengan ucapan, kebijakan, dan tindakan Tuhan, yang disampaikan oleh utusanNya. Jika berasal dari Tuhan, semuanya pasti baik meski sepintas tidak sesuai dengan harapan manusia. Dalam hal ini, kritik dan kritis menjadi tabu.
Sikap kritis adalah sebuah keharusan. Namun tidak demikian halnya dengan sikap sinis. Sinis artinya bersifat mengejek atau memandang rendah. Di samping itu, orang yang sinis tidak akan pernah (atau tidak mau)  melihat suatu kebaikan apapun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu atau seseorang. Memang boleh jadi seseorang bersikap sinis lantaran reputasi orang atau pihak lain yang telanjur karut-marut. Jika ini yang terjadi, maka menjadi tugas orang atau pihak lainlah untuk menebus kesalahan. Yang menjadi masalah adalah jika sikap sinis itu tanpa didasari oleh pandangan dan alasan yang objektif.  Orang yang bersikap demikian biasanya memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, semisal untuk merebut kekuasaan dan kekayaan. Bisa pula karena orang yang sinis itu merasa iri hati. Jika ini yang terjadi, waspadalah. Iri hati dan dengki dapat menghapus kebaikan laksana api memakan kayu bakar.
Kesimpulannya, kita wajib selalu bersikap kritis, namun jangan selalu bersikap sinis.