Beberapa
waktu lalu, laman www.rmol.com
menurunkan berita tentang pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan
Pengurus Pusat (DPP) Partai Gerindra Ahmad Muzani. Muzani mengatakan bahwa
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, tahu posisi bahwa Joko Widodo (Jokowi) adalah presiden
sehingga harus diberi kesempatan untuk mengatur negara. Menurut Muzani, Prabowo
lebih senang menyampaikan kritik melalui fraksi Gerindra di DPR RI.
Posisi Prabowo sebagai ketua umum, lanjutnya, tidak perlu selalu
menanggapi semua isu yang berkembang secara langsung melalui media massa. Lebih
lanjut Muzani menambahkan, Partai Gerindra tidak akan membiarkan rakyat terus tidak
dipedulikan oleh pemerintah. Sementara yang bisa dilakukan partainya adalah sebatas
mengingatkan dan mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan.
Setahun telah berlalu sejak negeri ini
menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres) tersengit dalam sejarah. Banyak
sudah kritik dialamatkan kepada pemerintahan Jokowi-JK, pasangan yang memenangi
pilpres itu. Yang terbaru berkaitan dengan masalah lambatnya pertumbuhan
ekonomi dan kinerja kabinet. Namun banyak pula yang masih memberikan
penghargaan dan pujian. Kelompok ini mengemukakan hal-hal yang dianggap sebagao
prestasi Jokowi-JK.
Tulisan ini tidak akan mengulas masalah dan
pekembangan politik negeri ini. Penulis yakin banyak orang yang lebih pandai
melakukannya. Yang jelas, kritik sudah menjadi makanan sehari-hari bagi
pimpinan negeri ini. Tradisi ini dimulai di era reformasi, saat keran kebebasan
berbicara dan mengemukakan pendapat dibuka lebar-lebar. Mulai dari BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini
Jokowi. Semuanya tidak luput dari kritik
yang bertubi-tubi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu
hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Orang yang biasa melakukan kritik
disebut kritis. Kembali merujuk kepada KBBI, kritis mengandung tiga pengertian.
Pertama, bersifat tidak lekas percaya. Kedua, bersifat selalu menemukan
kesalahan dan kekeliruan. Dan ketiga, adalah tajam di penganalisisan.
Berdasarkan
pengertian kritik dan kritis di atas, sikap kritis dan kritik tentu baik,
bahkan diperlukan sehingga wajib selalu dilakukan. Tujuannya jelas: agar yang
dikritik lebih berhati-hati dalam bertindak dan membuat kebijakan. Jangan sampai
tindakan dan kebijakan yang diambil hanya menguntungkan segelintir orang namun
merugikan banyak orang. Hal ini lantaran setiap pikiran, ucapan, dan tindakan
manusia, selama masih bersumber dari manusia akan senantiasa mengandung
kekurangan. Lain halnya dengan ucapan, kebijakan, dan tindakan Tuhan, yang
disampaikan oleh utusanNya. Jika berasal dari Tuhan, semuanya pasti baik meski
sepintas tidak sesuai dengan harapan manusia. Dalam hal ini, kritik dan kritis
menjadi tabu.
Sikap
kritis adalah sebuah keharusan. Namun tidak demikian halnya dengan sikap sinis.
Sinis artinya bersifat mengejek atau memandang rendah. Di samping itu, orang yang
sinis tidak akan pernah (atau tidak mau) melihat suatu kebaikan apapun dan meragukan
sifat baik yang ada pada sesuatu atau seseorang. Memang boleh jadi seseorang
bersikap sinis lantaran reputasi orang atau pihak lain yang telanjur
karut-marut. Jika ini yang terjadi, maka menjadi tugas orang atau pihak lainlah
untuk menebus kesalahan. Yang menjadi masalah adalah jika sikap sinis itu tanpa
didasari oleh pandangan dan alasan yang objektif. Orang yang bersikap demikian biasanya memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu, semisal untuk merebut kekuasaan dan kekayaan.
Bisa pula karena orang yang sinis itu merasa iri hati. Jika ini yang terjadi,
waspadalah. Iri hati dan dengki dapat menghapus kebaikan laksana api memakan
kayu bakar.
Kesimpulannya,
kita wajib selalu bersikap kritis, namun jangan selalu bersikap sinis.