Senin, 25 Agustus 2014

Memang Perlu Waktu, Tapi.....


David Moyes buka mulut pasca pemecatannya sebagai manajer Manchester United (MU).  Dalam wawancaranya dengan surat kabar The Daily Mail, Moyes, yang dipecat dari MU bulan April 2014 setelah hanya sepuluh bulan menangani klub yang bermarkas di Old Trafford itu,  mengatakan bahwa dirinya tidak diberi waktu yang cukup untuk menunjukkan keberhasilannya memimpin MU.
Di bawah kepelatihan Moyes, prestasi MU memang merosot drastis. Hingga pemecatannya tanggal 22 April 2014, MU hanya berada di peringkat ketujuh Liga Primer Inggris, dengan selisih 13 angka di belakang Arsenal, yang menduduki peringkat keempat.  Prestasi ini tentu jauh dibanding musim sebelumnya, di mana MU, yang saat itu masih dipimpin oleh Sir Alex Ferguson, menjadi juara liga. Dan untuk pertama kalinya sejak tahun 1995, MU gagal lolos ke liga Champions. Untuk pertama kalinya juga MU terlempar dari posisi tiga besar sepanjang sejarah Liga Primer.  Di Kompetisi Liga Champions Eropa, MU kandas di perempat final setelah dikalahkan Bayern Muenchen dengan skor agregat 4-2. Sedangkan di piala FA, MU tersingkir setelah bulan Januari 2014 dikalahkan Swansea 2-1.
Tugas yang diemban Moyes saat mengambil alih tampuk kepelatihan MU memang sungguh berat. Ia harus menggantikan Ferguson, yang telah menjadi legenda hidup MU.  Ferguson memang salah satu figur yang yang paling sukses, paling dikagumi, dan paling dihormati dalam sejarah sepak bola. Saat menjadi manajer MU, Ferguson berhasil mengantar MU menjadi juara Liga Primer sebanyak 13 kali, Piala FA 5 kali, Community Shields 10 kali, juara liga Champions Eropa 2 kali, Cup Winners Cup 1 kali, Piala Super Eropa 1 kali, Piala Intercontinental 1 kali, dan juara dunia antarklub 1 kali. Belum lagi penghargaan-penghargaan yang diterimanya sebagai manajer. Sebutlah diantaranya LMA Manager of the Decade 1 kali, LMA Manager of the Year 4 kali, Manajer Liga Primer Musim ini 11 kali, Manajer Liga Primer bulan ini 27 kali, Manajer Dunia Tahun Iniversi majalah World Soccer 4 kali, dan Manajer Tahun Ini versi Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA). Deretan panjang prestasi ini rasanya sulit disamai oleh orang lain, termasuk penggantinya di MU, siapa pun orangnya. Tak terkecuali Louis van Gaal, Jose Mourinho, Arsene Wenger, Carlo Ancelloti, ataupun Pep Guardiola.
Moyes sepertinya ingin membela diri soal prestasinya bersama MU. Pertanyaannya, tepatkah alasan yang dikemukakannya bahwa ia tidak mempunyai cukup waktu?Saat Ferguson meninggalkan MU pada akhir musim 2012-2013,  MU adalah tim yang telah mapan, baik dari sisi pemain dan pola permainan. Saat Moyes datang, ia tentu ingin menerapkan gayanya sendiri. Hal ini tentu wajar-wajar saja. Yang menjadi masalah, para pemain yang hampir semuanya adalah hasil didikan Ferguson belum terbiasa, atau tidak mau menerima gaya Moyes. Agar gayanya diterima, Moyes memerlukan waktu. Dalam hal ini, alasan Moyes bahwa dirinya tidak diberikan waktu yang cukup dapat dibenarkan. Apatah lagi Moyes mengatakan bahwa dirinya ingin merekrut pemain-pemain seperti Cesc Fabregas, Cristiano Ronaldo, dan Gareth Bale meski nyatanya tidak berhasil.
Persoalannya, dalam kompetisi yang begitu ketat, hasil kerap lebih penting ketimbang proses. Ditambah lagi para pendukung dan penggemar MU sudah biasa melihat tim kesayangan mereka selalu berada di jalur kemenangan. Bagi mereka, tak terbayangkan MU berada di luar tiga besar, tidak lolos ke kejuaraan Eropa (bahkan untuk kejuaraan Liga Europa yang dianggap sebagai kompetisi kelas dua), dan kalah dari tim-tim papan tengah bahkan papan bawah. Namun itu semua terjadi saat Moyes menjadi manajer tim dengan julukan setan merah itu. Kegagalan Moyes mengendalikan para pemain MU juga menjadi bukti lemahnya kualitas kepemimpinan mantan pelatih Everton itu. Ini tentu jauh dibandingkan Ferguson, yang terkenal otoriter namun disegani.  Maka tak ada ampun lagi, Moyes harus lengser dari posisinya sebagai manajer MU.  Padahal ia tadinya dikontrak selama enam tahun.



Sabtu, 19 Juli 2014

Sabella, Lippi, dan Del Bosque



Pelatih tim nasional Argentina, Alejandro Sabella, akan mundur dari jabatannya pasca Piala Dunia 2014 di Brasil, apapun hasil pertandingan final antara tiimnya dengan Jerman. Hal ini dikonfirmasi oleh agen Sabella, Eugenio Lopez. Keputusan Sabella ini berlainan dengan keinginan Persatuan Sepak Bola Argentina, yang menginginkannya tetap bertahan.
Sabella ditunjuk untuk melatih Argentina pada tahun 2011. Selama masa kepelatihannya, tim Tango mencatat prestasi fenomenal: untuk pertama kalinya meloloskan Argentina ke final Piala Dunia setelah 24 tahun. Pada tahun 1990, Argentina berhasil masuk final, namun kalah 1-0 dari Jerman (Barat).
Terlepas Argentina jadi juara atau tidak, mundur setelah tim nasional yang diasuhnya mencetak prestasi tinggi bukanlah fenomena baru. Inilah yang dilakukan oleh Franz Beckenbauer setelah sukses membawa Jerman jadi juara dunia tahun 1990. Contoh lainnya adalah  Carlos Alberto Pareira (Brasil tahun 1994), Luis Felipe Scolari  (Brasil tahun 2002), dan Marcello Lippi (Italia tahun 2006).
Alasan mundurnya mereka bisa bermacam-macam.  Diantaranya adalah ketidaksepakatan dalam hal kompensasi. Maksudnya, tuntutan kompensasi yang diajukan tidak bisa dipenuhi oleh federasi sepak bola negara yang bersangkutan. Namun kompensasi bukanlah satu-satunya alasan.  Sebuah federasi sepak bola tentu sadar menjadi pelatih tim nasional adalah tugas berat. Oleh karenanya, mereka umumnya tidak keberatan memberi gaji tinggi.
Alasan mereka untuk mundur umumnya berkaitan dengan idealisme.  Mundur setelah meraih kesuksesan dilakukan agar nama mereka tetap harum dan dikenang.  Bukan hanya itu, pandangan-pandangan mereka juga akan dihargai. Hal ini ternyata bukan hanya terjadi dalam dunia sepak bola. Dalam dunia bisnis, banyak pemimpim perusahaan yang memilih mundur dari jabatannya justru saat kinerja perusahaan sedang bagus-bagusnya. Hal yang sama berlaku untuk pemimpin-pemimpin pemerintahan, seperti presiden atau perdana menteri.  Lee Kuan Yew mundur dari posisinya sebagai perdana menteri saat ekonomi Singapura sedang berkembang pesat.  Dan terbukti lama setelah ia mundur, ia masih tetap disegani oleh rakyat Singapura.
Alasan lain: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Pepatah lama ini agaknya tetap relevan hingga kini. Saat anda juara atau mencatat prestasi yang fenomenal, semua orang rasanya ingin mengalahkan anda. Banyak orang yang merasa dirinya tidak lagi memiliki energi yang besar untuk mempertahankan apa yang sudah diraih.  Bila dipaksakan, hasilnya justru bisa berbalik: tim dan organisasi yang dipimpinnya justru akan terpuruk.  Inilah yang terjadi pada Marcello Lippi saat menukangi tim nasional Italia pada Piala Dunia tahun 2010 di Afrika Selatan. Italia harus tersingkir di babak penyisihan. Italia bahkan tidak mampu menang atas Selandia Baru, tim yang sebagian besar berisi pemain-pemain amatir. Padahal empat tahun sebelumnya Lippi berhasil membawa Italia menjadi juara dunia.  Hal yang sama terjadi pada Vicente Del Bosque, pelatih Spanyol yang sukses membawa negaranya menjuarai Piala Dunia 2010.  Di Piala Dunia 2014, Spanyol harus lebih awal pulang kandang.
Zaman yang berubah kerap menuntut pelatih yang sukses untuk meninggalkan posisinya. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai senjata yang mematikan lawan, suatu saat justru menjadi usang. Sebuah pendapat menarik dikemukakan oleh Jose Mourinho, pelatih Chelsea, terkait kegagalan Spanyol di Piala Dunia 2014.  Menurut Mourinho, Spanyol telah mendominasi sepak bola selama empat hingga enam tahun terakhir, sehingga tim-tim lain telah mempelajari bagaimana melawan mereka, tetapi sang juara dunia tidak mampu beradaptasi. Agaknya, Spanyol memang terlena dengan prestasi mereka yang memang fenomenal, yaitu juara dunia 2010 dan juara Eropa dua kali berturut-turut, masing-masing tahun 2008 dan 2012. Dalam sejarah, belum pernah ada negara yang sebelumnya mampu menggapai prestasi ini. Dampaknya, Spanyol masih mengandalkan muka-muka lama yang boleh jadi motivasinya sudah tidak seperti dulu. Kondisi ini sejatinya mirip dengan yang terjadi di dunia politik. Banyak pemimpin yang emggan turun lantaran terbuai dengan pujian-pujian yang diterimanya.
Pemimpin-pemimpin besar memang tahu kapan saatnya harus mundur meski kekuasaan itu begitu menggoda.
           



Senin, 23 Juni 2014

Juan Carlos, Beatrix, dan Albert II



Pada hari Senin, tanggal 2 Juni 2014, Raja Spanyol, Jual Carlos, mengumumkan akan menyerahkan takhtanya kepada putranya, Pangeran Felipe. Juan Carlos, yang kini berusia 76 tahun, naik takhta pada bulan November 1975. Menurut Perdana Menteri (PM) Spanyol, Mariano Rajoy, raja mundur karena alasan pribadi. Sejak beberapa bulan terakhir, raja mengalami masalah kesehatan.
Raja Juan Carlos sebenarnya sosok yang begitu dikasihi rakyatnya. Ia berhasil mengantarkan Spanyol memasuki era demokrasi pasca meninggalnya penguasa militer Francisco Franco. Namun beberapa tahun belakangan ini, popularitasnya merosot lantaran kasus korupsi yang menimpa putrinya, Cristina, dan menantunya, Inaki Urdangarin. Ia juga mendapat kritik tajam lantaran berfoto bersama gajah yang berhasil ia buru. Padahal Spanyol sedang dilanda krisis ekonomi yang parah. Saat ini dampak krisis masih terasa meski tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Akibat berburu gajah, organisasi konservasi kehidupan liar atau WWF memberhentikan Juan Carlos dari posisinya sebagai presiden kehormatan WWF.
Juan Carlos mengikuti jejak sejumlah raja di benua biru Eropa. Raja atau ratu yang telah berusia lanjut, umumnya lebih dari 70 tahun, memutuskan untuk turun takhta dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra mahkota.  Di Belanda, Ratu Beatrix yang telah bertakhta selama 30 tahun digantikan putranya, Wilem-Alexander pada tahun 2013. Ia menjadi raja pertama Belanda sejak kakek buyutnya meninggal dunia tahun 1890.  Selama kurang lebih 123 tahun, negeri Belanda dikepalai oleh 3 orang ratu.
Di Belgia, Philippe menggantikan ayahnya, Raja Albert II, sejak bulan Juli 2013. Albert II, yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun, mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Ia mengundurkan diri dalam usia kurang lebih 79 tahun.
Terkait dengan penyerahan takhta ini, ada satu komentar menarik dari Juan Carlos. Menurutnya, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Felipe agar putranya itu tidak harus menunggu lama seperti Pangeran Charles dari Inggris. Charles, yang hampir berusia 66 tahun, saat ini tercatat sebagai putra mahkota tertua sepanjang sejarah Kerajaan Inggris. Ia memecahkan rekor William IV, yang menjadi raja pada tahun 1830 dalam usia 64 rahun, 10 bulan, dan 5  hari.  Pangeran Charles juga tercatat sebagai putra mahkota terlama. Ia  menjadi putra mahkota  pada usia tiga tahun, saat ibunya, Ratu Elizabeth II, mulai bertakhta pada tahun 1952.
Menanggapi hal ini, pakar sejarah kerajaan Inggris, Hugo Vickers, mengatakan bahwa kecil kemungkinan Ratu Elizabeth II akan menyerahkan takhtanya dalam waktu dekat. Pasalnya, tidak seperti Juan Carlos yang  popularitasnya merosot dan kondisi kesehatannya menurun, Ratu Elizabth II masih tetap populer dan bugar. Entah kapan Charles akan menjadi raja.
Apa yang dilakukan oleh Raja Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II patut diteladani. Meski posisi mereka kebanyakan bersifat seremonial, raja dan ratu itu telah membuktikan diri mereka layak menjadi figur panutan. Mereka membimbing rakyatnya menghadapi masa-masa sulit dan memotivasi mereka umtuk kemajuan bangsa.  Mereka juga telah mendidik dan mempersiapkan calon pengganti mereka sehingga siap untuk berkiprah.  Saat merasa calon pengganti mereka sudah siap tampil, mereka dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya.
Keteladanan di tingkat nasional ini sejatinya  dapat menginspirasi para pemimpin senior di organisasi-organisasi lain, semisal perusahaan dan organisasi nirlaba. Sayangnya, tidak semua pemimpin mau bertindak sebijaksana Raja Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II. Meski telah belasan, bahkan puluhan tahun berkuasa, mereka tetap enggan untuk mundur Berbagai dalih dikemukakan sebagai justifikasi. Mulai dari pengikut  yang masih menghendaki dirinya berkuasa, masih butuh waktu untuk mewujudkan cita-citanya, takut organisasi tercerai berai karena pengikut masih perlu waktu untuk belajar, dan sebagainya.  Alasan-alasan di atas sejatinya hanyalah kedok untuk menutupi ketakutan sang pemimpin senior akan kehilangan kekuasaan dan pengaruh, yang identik dengan prestise dan materi.
Banyak pemimpin yang di masa-masa awal kekuasaanya mampu menorehkan prestasi-prestasi gemilang. Namun karena terlalu lama duduk di singgasana, mereka cenderung tidak peka terhadap perubahan. Karena terbiasa dengan pujian, ia menjadi tidak tahan kritik serta menganggap para pengkritiknya sebagai ancaman yang harus dilibas.  
Oleh karenanya, seorang pemimpin harus sadar bahwa ia tidak mungkin memimpin selamanya. Mekanisme untuk memilih pengganti harus disiapkan sejak dini, termasuk waktu untuk melakukan pergantian. Masa terbaik untuk melakukannya adalah saat pemimpin sedang jaya.
Sedihnya, tidak banyak pemimpin yang mau berpikir untuk mundur saat berada di puncak. Padahal dengan melakukan hal ini, ia mundur dengan terhormat. Wibawanya masih kuat, pemikirannya masih didengar.

Sabtu, 17 Mei 2014

Enyahkan

Pemain tim nasional Brasil, Dani Alves, mengambil sepak pojok saat klub yang diperkuatnya, Barcelona, berhadapan dengan Villarreal dalam kompetisi sepakbola Liga Spanyol musim 2013/2014.  Tiba-tiba, sebuah pisang dilemparkan dari tribune penonton dan mendarat tepat di dekat Alves. Alves, kelahiran Juazeiro, Brasil, 6 Mei 1983 itu  kemudian mengambil pisang itu, mengupas, dan memakannya satu gigitan. Kemudian ia melanjutkan mengambil sepak pojok. Dalam pertandingan itu, Barcelona mengalahkan Villarreal dengan skor 3-2.
Peristiwa itu terekam dan dapat disaksikan di seluruh dunia melalui internet. Umumnya, orang bersimpati atas tindakan Alves. Stasiun televisi CNN menyebutnya sebagai humor melawan rasisme dalam sepakbola. Rekan seklub dan senegara Alves, Neymar, berkomentar dalam akun Twitternya, “Kita memang sekumpulan monyet. Lalu kenapa?”. Mantan pemain Barcelona dan tim nasional Inggris, Gary Lineker, turut memuji tindakan Alves. “Reaksi yang sungguh Brilian dari Alves”, kata Lineker.
Pihak Villarreal sendiri menyatakan sangat menyesalkan insiden itu. Klub yang dilatih Marcelino Garcia Toral itu juga mengatakan telah mengenal identitas orang yang melakukan perbuatan tercela itu, menarik kartu keanggotaan klub, dan melarang orang tersebut menginjakkan kaki di stadion El Madrigol, markas Villarreal,  seumur hidup.
Alves bukanlah orang pertama yang dengan jenaka menanggapi perlakuan rasis sekumpulan penonton saat pertandingan berlangsung. Pada tahun 2005, Samuel Eto’o, pemain asal Kamerun yang saat itu memperkuat Barcelona, menari layaknya seekor monyet setelah berhasil menciptakaan gol ke gawang Real Zaragoza. Hal ini sebagai tanggapan atas suara-suara monyet yang diarahkan padanya setiap kali ia menggiring bola. Bukan hanya itu, ia juga dilempari kacang saat berhasil mencetak gol. Menanggapi aksinya itu, Eto’o mengatakan bahwa ia menari seperti monyet karena ada penonton yang memperlakukannya seperti monyet. Barcelona mengalahkan Real Zaragoza 4-0 dalam pertandingan itu. Dan pada tahun itu pula, Eto’o terpilih sebagai pemain terbaik Afrika.
Tak Hanya di Eropa, Bukan Hanya oleh Penonton
Rasisme dalam sepakbola terjadi tatkala pemain dilecehkan karena warna kulit, etnis, dan kebangsaan. Yang melecehkan merasa bahwa golongan, suku, dan bangsa mereka lebih tinggi derajatnya ketimbang yang dilecehkan. Rasisme bukan hanya terjadi di negara-negara Eropa, melainkan juga di negara-negara di kawasan lain semisal Asia (Hong Kong, Jepang, dan Filipina). Amerika Utara (Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada), dan Amerika Selatan (Brasil dan Argentina). Bukan hanya dilakukan oleh penonton dalam bentuk ejekan dan lemparan seperti yang dialami Alves dan Eto’o, melainkan juga dilakukan oleh pihak-pihalk lainnya semisal pelatih,  pemain,  dan komentator.
Bukan Pilihan
Seprti halnya dalam bidang-bidang lainnya, rasisme dalam sepakbola harus dilenyapkan. Mengapa seseorang harus dihina lantaran warna kulit, etnis, dan kebangsaan yang berbeda? Kesemuanya itu adalah pemberian, bukan pilihan.  Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih untuk berkulit hitam, putih, atau kuning. Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih untuk beretnis Arab, Tiongkok, Urdu, dan sebagainya. Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih tempat kelahirannya, apakah di Indonesia, India, Brazil, Inggris, Meksiko, dan sebagainya. Namun Tuhan maha adil. Meski berbeda warna kulit, etnis, dan kebangsaan, setiap individu dianugerahi potensi yang sama untuk berkembang. Kemuliaan seseorang tidak tergantung warna kulit, etnis, dan tempat lahir, melainkan oleh seberapa banyak kebaikan yang ia lakukan.

Federati-federasi sepakbola, baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional telah berupaya mengatasi masalah rasisme, baik melalui peraturan maupun sanksi. Hal ini tentu patut kita dukung. Namun para pemain yang rentan mendapat perlakuan rasis juga diharapkan dapat bersatu serta menemukan cara-cara kreatif, seperti yang dilakukan Alves dan Eto’o.  Mari enyahkan rasisme dari muka bumi.

Selasa, 15 April 2014

Berkaryalah Lebih Dulu

Eko Yuli Irawan, atlet angkat besi nasional peraih medali perunggu pada Olimpiade Musim Panas 2012 di London, dan pelatihnya, Lukman, baru saja dihadiahi bonus Rp 200 Juta oleh PT. So Good Food. Bukan hanya itu. So Good juga telah memilih Eko dan Lukman menjadi bintang iklan produsen makanan olahan daging itu. So Good terkesan dengan prestasi yang ditorehkan Eko.
Keberhasilan Eko mengharumkan nama bangsa di ajang bergengsi sekelas Olimpiade telah membuat namanya tenar. Bagi pelaku bisnis, hal ini menjadi peluang untuk mendongkrak penjualan. So Good telah membuktikannya. Dengan menjadikan Eko sebagai bintang iklan So Good, penjualan perusahaan naik. Demikian kata Denny Gumulya, Wakil Presiden Pemasaran PT. So Good Food.
Bagi sang atlet, mendapatkan bonus tentu menyenangkan. Siapa yang tidak mau? Namun ini tentu tidak gratis. Si atlet harus terus berprestasi. Artinya ia tidak boleh berhenti belajar dan berlatih. Jika prestasi mandek, bonus juga ikut berakhir. Di samping prestasi, sikap dan tingkah laku juga harus dijaga. Buat apa berprestasi baik jika melakukan perbuatan tercela? Prestasi dan tingkah laku yang baik layaknya dua sisi mata uang. Keduanya harus saling melekat.
Setelah membaca berita tentang Eko Yuli Irawan itu, ingatan penulis segera melayang ke salah seorang teman. Kami bertemu pertama kali kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Teman penulis itu adalah orang yang gila kerja. Dalam usia yang masih relatif muda, ia berhasil menduduki berbagai posisi manajerial. Meski demikian, minatnya yang terbesar adalah dalam bidang penjualan dan pemasaran.
Suatu hari, ia bertanya kepada penulis, “Dalam hidup, manakah yang lebih anda utamakan, kerja atau uang? Jika lebih mengutamakan uang, barangkali setelah pensiun anda akan hidup miskin lantaran anda tidak lagi menerima kucuran uang. Namun jika anda mengutamakan kerja, maka percayalah, uang akan datang dengan sendirinya”.
Hingga kini, ucapan itu masih terngiang-ngiang di telinga penulis. Seiring berjalannya waktu, penulis semakin paham bahwa ungkapan itu bukan hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat materi atau keuangan, melainkan juga hal-hal lainnya yang mendatangkan kepuasan, semisal kesempatan untuk mengembangkan diri dan kemajuan karier.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, penulis bergabung dengan sebuah organisasi nirlaba.  Semua orang yang bergabung dengan organisasi ini bekerja tanpa dibayar. Penulis jatuh cinta dengan organisasi ini sejak kunjungan pertama. Alasannya?Lingkungan yang positif. Di dalam organisasi ini, anda bebas untuk mengekspresikan diri anda tanpa dibayangi ketakutan akan kritik-kritik pedas dan sanksi yang meruntuhkan motivasi. Di sini, anda akan menemukan hal-hal yang positif yang ada dalam diri anda. Kelemahan tidak disebut sebagai kekurangan, melainkan hal-hal yang masih bisa ditingkatkan.  Faktor-faktor inilah yang membuat penulis bersemangat untuk mengikuti aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan organisasi ini.  Berkat hal ini, penulis kerap diminta untuk menduduki posisi dan memainkan peran strategis. Saat ini, penulis menjadi salah satu anggota pengurus organisasi.  Bagi penulis, hal ini adalah sebuah kebanggaan.
Agar pekerjaan yang kita tekuni dapat menghasilkan uang, adalah sangat penting untuk pertama-tama menentukan apa yang menjadi minat dan kemampuan kita. Masing-masing orang memiliki kecenderungan yang berbeda terhadap sesuatu. Ada yang senang melukis, memasak, membuat kerajinan tangan, menulis, dan sebagainya. Jika seseorang sudah berminat terhadap sesuatu, biasanya ia akan merasa lebih bersemangat untuk menekuninya. Jika minat sudah ketemu, bersungguh-sungguhlah untuk menekuninya. Dalam usaha mewujudkan minat ini akan selalu dijumpai halangan. Oleh karenanya, kesabaran sangat penting. Sabar bukan berarti pasif, melainkan tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, dan tidak tergesa-kesa. Dalam bekerja integritas tidak boleh dikorbankan atas nama apapun. Integritaslah yang pada akhirnya akan menyelamatkan nasib seseorang.
Jadi, berkaryalah. Maka kesenangan akan mengiringi anda.


Jumat, 28 Februari 2014

Si Penjual Tisu

Kurang lebih 1 minggu yang lalu, dalam perjalanan menuju tempat kerja penulis  bertemu dengan seorang teman di dalam Bus Transjakarta. Kebetulan, ia bekerja di gedung yang sama dengan penulis. Maka kami turun dari bus dan berjalan bersama-sama menuju gedung tempat kami bekerja. Dalam perjalanan, ia membeli  2 bungkus tisu dari seorang pedagang tisu yang berjualan di pinggir jalan.  Tak dinyana, ia memberikan 1 bungkus tisu yang yang baru ia beli kepada penulis. Ia lalu berkata bahwa ia sebenarnya tidak membutuhkan tisu. Ia hanya ingin menghargai jerih payah sang penjual tisu.
Penulis tentu menghargai kebaikan hati teman penulis itu. Namun bagi pedagang asongan seperti sang penjual tisu, akan lebih baik jika dalam menjalankan aktivitasnya mendapat jaminan perlindungan secara resmi dari pemerintah. Sebab tanpa jaminan perlindungan, posisi sang penjual tisu sangatlah rentan. Rentan terhadap penggusuran, rentan jatuh miskin secara mendadak akibat kecelakaan lantaran tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan. Mereka juga tidak memiliki sistem dan struktur bisnis. Peluang mereka untuk berkembang juga amat terbatas. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kesuksesan penjual tisu praktis tidak akan berdampak apapun bagi pendapatan nasional karena tidak ada pajak yang dibayarkan.
Dalam istilah ekonomi, sang penjual tisu berada dalam sektor ekonomi informal. Di negeri ini, begitu banyak orang-orang yang bernasib seperti dirinya. Termasuk diantaranya penjual makanan di pinggir dan di tengah jalan (saat lalu lintas berhenti), penjual pulsa telepon genggam, penawar jasa pembersih kaca jendela mobil di tengah-tengah kemacetan, dan sebagainya. Juga para penjahit pakaian berskala kecil (yang biasanya melakukan pekerjaannya di rumah), Rata-rata dari mereka umumnya berpendidikan rendah, tidak sampai mencicipi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan banyak diantaranya tang tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Perlu dicatat, mereka bukanlah pelaku tindakan kriminal meski tidak tercatat secara resmi. Biasanya orang-orang bekerja di sektor informal karena terpaksa demi mempertahankan hidup. Bagi pelaku sektor informal, lolos dari kewajiban membayar pajak menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi bila mereka pintar berlindung di balik rasa belas kasihan masyarakat.
Apa yang melatarbelakangi tumbuhnya sektor informal?Yang utama adalah pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang pesat tanpa diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Pesatnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja merupakan hasil dari lajunya pertumbuhan penduduk. Selama satu dekade  terakhir, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tingkat fertilitas penduduk Indonesia mencapai 2,4. Pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS),  diperkirakan mencapai 305 juta jiwa. Tanpa pertumbuhan sektor formal yang signifikan, jumlah tenaga kerja yang akan memasuki sektor informal bakal semakin bertambah.
Penyebab berikutnya tumbuh pesatnya sektor informal adalah sulitnya memasuki sektor formal. Salah satunya lantaran rendahnya kualitas rata-rata tenaga kerja sehingga sektor formal enggan merekrut mereka. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam bidang pendidikan sehingga tidak mampu memasok tenaga-tenaga kerja yang terampil.
Penyebab lainnya adalah apa yang dalam ilmu ekonomi disebut fleksibilitas dan efisiensi pasar tenaga kerja (labor market flexibility and efficiency). Pasar tenaga kerja haruslah efisien sehingga tenaga kerja dapat dengan mudah berpindah dari satu sektor ekonomi ke sektor ekonomi lainnya dengan biaya rendah. Sedangkan pasar tenaga kerja yang efisien harus menjamin insentif bagi pekerja serta terciptanya meritokrasi. Merujuk kepada Global Competitiveness Report 2013-2014 yang diterbitkan World Economic Forum (WEF), kakunya pasar tenaga kerja menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dalam usaha meningkatkan daya saing.
Keberadaan sektor informal wajib dikikis agar pendapatan pemerintah bertambah dan rakyat mendapat perlindungan dalam mencari nafkah.

Rabu, 15 Januari 2014

Pak Rahmat dan Kamhar

Warung makan itu terletak tidak jauh dari kantor penulis, di kawasan bisnis terkemuka di Jakarta.  Meski tidak luas, namun tempatnya cukup nyaman sehingga orang betah untuk duduk lebih lama seraya menunggu usainya waktu istirahat setelah makan siang . Makanan yang disajikan harganya cukup terjangkau, sesuai bagi kebanyakan karyawan.  Menu yang ditawarkan kurang lebih sama dengan yang biasa dijumpai di warung-warung Tegal. Meski tidak setiap hari,  penulis cukup sering makan siang di warung itu.
Pemilik warung itu sebut saja namanya Pak Rahmat. Entah sejak kapan ia mulai berdagang di tempat itu. Yang jelas,  ia hampir selalu menyapa pelanggannya dengan sebutan khas, “Orang Muda”. Semua orang dipanggilnya demikian meski tentu ada yang usianya tidak muda lagi. Yang membuat penulis senang makan di warung itu adalah gaya Pak Rahmat yang ramah. Bila lama tidak berkunjung, ia selalu menjabat tangan penulis erat-erat, seraya berkata,  “Terima kasih, masih ingat dengan orang tua.” .
Bagaimanapun, tidak semua orang mempunyai kesan positif terhadap Pak Rahmat. Seorang pesuruh yang bekerja di sebelah kantor penulis bercerita tentang keluhan anak buah Pak Rahmat.  Menurutnya, Pak Rahmat suka marah dan kurang memperhatikan kesejahteraan karyawan.  Ia hanya ramah kepada pelanggan. Pesuruh itu tidak menjelaskan lebih lanjut perihal suka marah dan kesejahteraan yang “dianggap” kurang ini (kata “dianggap” sengaja penulis beri tanda kutip karena boleh jadi masalah kesejahteraan ini bersifat relatif).
Setelah mendengar cerita pesuruh itu, ingatan penulis lantas melayang ke sebuah novel yang pernah penulis baca. Novel itu berjudul Cinta di dalam Gelas, dikarang oleh Andrea Hirata yang terkenal dengan Laskar Pelangi-nya.  Dalam novel Cinta di dalam Gelas, dikisahkan Ikal, sang tokoh utama, yang bekerja di warung kopi milik pamannya. Sang paman bernama Kamhar. Di samping ikal, ada tiga orang karyawan yang juga bekerja di warung kopi milik  Kamhar, masing-masing bernama Midah, Hasanah, dan Rustam.
Paman Ikal adalah orang yang sangat cerewet dan suka marah. Marah sudah menjadi kesehariannya. Jangankan berbuat salah, berbuat benarpun anak buahnya tetap bisa kena semprot.  Meski demikian, Midah, Hasanah, dan Rustam tetap setia bekerja di warung kopi Kamhar. Mereka sudah bertahun-tahun kerja di sana. Padahal, mudah saja bagi mereka untuk pindah kerja, termasuk bekerja di warung kopi lain. Bahkan dengan pengalaman yang dimiliki, mereka mungkin bisa meminta gaji lebih tinggi di tempat lain. Inilah teka-teki yang ingin dipecahkan Ikal, yang belum lama bergabung dengan warung kopi milik sang paman.
Teka-teki terkuak saat sang paman harus meninggalkan warung kopi selama tiga hari untuk menghadiri pernikahan salah seorang anak sahabatnya.  Pada awalnya, Midah, Hasanah, dan Rustam merasa “merdeka”. Tak ada yang memarah-marahi mereka, paling tidak selama beberapa hari. `Namun hal ini tidak berlangsung lama. Perasaan kesepian mulai menghnggapi mereka. Kemarahan sang paman yang biasanya membuat hati jengkel,  saat itu justru mereka rindukan. Namun ternyata bukan hanya itu. Merekapun rindu terhadap kelemahlembutan dan kasih sayang paman saat ia sedang tidak marah.
Saat itu Ikal dan kawan-kawannya menyadari bahwa meski galak, sang paman adalah orang yang sangat mencintai profesinya sebagai pemilik warung kopi.  Ia mendidik anak buahnya untuk bangga terhadap pekerjaan mereka. Di samping itu, sang paman adalah orang yang jujur dan siap menjadi sahabat saat diperlukan. Ternyata, hal-hal inilah yang membuat Midah, Hasanah, dan Rustam betah bekerja dan tetap setia pada paman.

Apakah Pak Rahmat memiliki sifat-sifat yang sama dengan paman Ikal?Entahlah. Namun yang jelas, meski penting uang bukanlah segalanya yang membuat orang betah bekerja di sebuah tempat. Suasana kerja ternyata lebih penting. Termasuk didalamnya perlakuan yang adil dari pemimpin. Menghargai anak buah bila berprestasi dan memberi sanksi bila berbuat salah.  Keduanya harus diberikan secara seimbang. Tak kalah penting, pemimpin harus rajin turun ke bawah guna memahami sifat-sifat dan situasi yang dihadapi anak buahnya. Iapun harus pandai-pandai memotivasi anak buahnya. Bila kesemuanya ini dipenuhi, pengikut akan termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Merekapun akan bangga menjadi bagian dari organisasi.