Apa
yang membuat hidup seseorang bahagia? Jawabanya tentu bisa bermacam-macam. Namun
penulis tidak akan membahas hal ini. Maklum, penulis bukanlah seorang psikolog
atau motivator. Meski demikian, penulis
tertarik dengan sebuah artikel yang penulis baca belum lama ini.
Artikel
tersebut mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gallop, yang
mengukur emosi positif 1000 orang di 148 negara. Dalam penelitian itu, Gallop
mengajukan lima pertanyaan: Apakah anda merasakan kesenangan?Apakah anda merasa
dihormati? Apakah anda dapat beristirahat dengan baik? Apakah anda banyak tertawa
dan tersenyum? Dan Apakah anda belajar sesuatu yang baru dan menarik?
Dari
penelitian tersebut terungkap bahwa ternyata yang paling berbahagia bukanlah
orang Qatar, negara dengan pendapatan
perkapita tertinggi di dunia. Bukan pula Jepang, negara dengan tingkat harapan
hidup tertinggi di dunia. Bukan pula Kanada, negara dengan persentase orang
yang lulus kuliah tertinggi di dunia. Negara yang penduduknya paling
berbahagia, menurut penelitian Gallup itu, adalah Panama, sebuah negara di
kawasan Amerika Tengah. Yang lebih menarik lagi, tujuh dari sepuluh negara yang
penduduknya paling berbahagia di dunia berasal dari Amerika Latin.
Negara-negara itu adalah Panama (peringkat 1), Paraguay (2), El Salvador (3),
Venezuela (4), Guatemala (7), Ekuador
(9), dan Kosta Rika (10). Indonesia sendiri perada di peringkat 19, relatif
cukup baik.
Yang
mengejutkan, Singapura justru berada di peringkat paling bawah. Padahal dari
sisi PDB perkapita, negara ini termasuk yang tertinggi di dunia. Dalam hal
Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), posisi Singapura
jelas jauh di atas negara-negara Amerika Latin. Kemudian, siapa yang tidak
kenal Singapura sebagai pusat keuangan di Asia Pasifik, yang negaranya serba
tertib dan teratur, yang bersih dari korupsi, yang murid-murid sekolahnya
menjadi salah satu yang paling unggul dalam pelajaran matematika dan sains,
yang kualitas pendidikan tingginya sudah berkelas dunia?
Lantas
mengapa Singapura menjadi negara dengan tingkat emosi positif terendah di
dunia? Bagi yang mengenal negeri Singa itu lebih dalam, sebenarnya hasil
penelitian Gallup ini tidak terlalu mengejutkan. Di sana, keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi (work life
balanced) sangat minim. Segala sesuatu, termasuk prestasi, diukur
berdasarkan apa yang dapat dihasilkan secara kuantitatif, termasuk dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Bila tidak sanggup memenuhi, seseorang dianggap sebagai manusia gagal,
meski sebenarnya ia mampu menghasilkan karya-karya seni yang monumental. Bila
gagal, terpuruklah hidupnya. Jangan mengharap bantuan orang lain karena mereka
sibuk dengan urusannya sendiri, termasuk sibuk bersaing. Angka bunuh
diri di Singapura tergolong tinggi.
Di
Singapura, segala sesuatu ada prosedur yang harus diikuti, termasuk hal-hal
yang remeh. Di satu sisi, hal ini memang baik karena menjadikan hidup lebih
teratur. Namun di sisi lain,
kelemahannya adalah mengabaikan kemungkinan terjadinya hal-hal di luar dugaan.
Dalam
hal kebebasan berekspresi, Singapura jelas kalah jauh dibanding Indonesia. Maka,
jangan berharap Singapura akan melahirkan seniman-seniman dan penulis besar
yang berasal dari luar pemerintahan.
Sekarang,
mari kita lihat Panama, negara yang mendapat peingkat tertinggi. Carlos
Martinez, seorang warga Panama, mengatakan bahwa ia tidak senang dengan
meningkatnya tingkat kriminalitas di negaranya. Meski demikian, ia senang dengan
keluarganya. Menurutnya, Panama adalah negara yang kaya dengan sumber daya
alam. Rakyatnya senang merayakan segala
sesuatu, dan berusaha menjalani hidup sebaik mungkin. Di Paraguay, yang
mendapat peringkat tertinggi kedua, Maria Solis, seorang pedagang, mengatakan
bahwa kesulitan ekonomi bukan alasan untuk bersedih. Orang kayapun akan dililit
oleh masalah. Kita harus mentertawakan diri sendiri.
Apakah
ini berarti ukuran-ukuran tradisional seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan
perkapita, dan HDI tidak relevan lagi dipertahankan?Tentu tidak demikian. Penelitian
Gallop di atas sama sekali tidak boleh dijadikan pembenaran untuk hanya pasrah
menerima nasib. Wajib hukumnya kita bekerja
keras mencari kekayaan (tentu dengan cara yang halal); mengembangkan
kreativitas dan inovasi; membangun tempat tinggal yang layak huni dan nyaman; meningkatkan
produksi dan ketahanan pangan; membangun
infrastruktur, meningkatkan kesehatan, dan
berperilaku etis. Dengan melakukan itu semua, manusia telah berusaha mengoptimalkan
potensinya. Kehidupanpun menjadi lebih baik. Namun hendaknya kita TIDAK HANYA terpaku pada ukuran-ukuran
tradisional, karena akan membuat kehidupan menjadi hambar, bahkan kehilangan
makna.