Bagi
yang sering naik bus Transjakarta, tentu pernah mengalami antre di dalam halte
dalam waktu lama menunggu kedatangan bus.
Saat sebuah bus tiba, penumpang
berebutan masuk. Semuanya ingin cepat terangkut karena kalau tidak mereka harus
menunggu bus berikutnya, ysng baru akan
tiba entah berapa lama lagi. Akibatnya,
banyak yang tidak mau antre sebab bagi mereka jika ikut antre tidak akan
dapat terangkut, sedangkan mereka ingin atau harus cepat sampai karena sudah
lelah atau takut terlambat. Padahal telah
dipampang tulisan untuk mendahulukan yang turun. Tapi berapa orang yang peduli?Begitu
pintu bus terbuka, banyak orang di halte langsung melangkahkan kakinya ke dalam
bus, padahal belum ada penumpang bus yang keluar. Kondisi ini dapat diamati di hampir semua
koridor. Kondisi yang semrawut ini juga
mengakibatkan penumpang rentan menjadi korban kejahatan, semisal pencopetan dan
pelecehan.
Pemandangan
orang berebutan untuk menikmati layanan ini tidak hanya dapat dilihat di halte
bus Transjakarta, melainkan juga di tempat-tempat lain semisal di stasiun KA. Melihat
fenomena itu, penulis teringat dengan sebuah tulisan yang pernah penulis baca serta sebarluaskan
di salah satu jejaring sosial. Tulisan
itu berisi ungkapan seorang guru di negeri Kangguru Australia, yang menyatakan
dirinya tidak begitu cemas jika murid-muridnya tidak pandai mengerjakan
soal-soal matematika. Namun dirinya dan
juga guru-guru lainnya sangat takut jika para murid tidak bisa dan/atau tidak
mau antre menunggu giliran. Mengapa demikian?Bagi guru tersebut, paling tidak
ada dua alasan. Pertama, agar mahir
dalam matematika, seorang anak hanya membutuhkan kurang lebih 3 bulan latihan
intensif, sedangkan untuk mengantre membutuhkan waktu jauh lebih lama, yaitu 12
tahun. Kedua, tidak semua ilmu matematika
yang diajarkan di sekolah kelak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Paling banter hanya penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Ini penulis alami sendiri. Saat duduk di
bangku SMP dan SMA, penulis belajar teori-teori matematika seperti kalkulus dan
trigonometri. Namun tak satu pun teori-teori itu yang penulis manfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Berbeda halnya
dengan mengantre. Hampir setiap hari orang harus mengantre untuk memperoleh
atau melakukan sesuatu, seperti membayar barang, naik turun tangga, memesan makan di tempat makan, mengemudikan
mobil atau sepeda motor di jalan, dan sebagainya.
Selanjutnya,
dalam tulisan itu juga dikemukakan pelajaran-pelajaran berharga yang diperoleh
dari kebiasaaan mengantre bagi seorang anak, yaitu belajar mengatur waktu,
melatih kesabaran, belajar menghormati hak orang lain, belajar untuk berdisiplin, merangsang
kreativitas, belajar bersosialisasi khususnya dengan sesama pengantre, belajar hukum sebab akibat, dan belajar
memiliki rasa malu jika menyerobot antrean.
Pertanyaannya,
adakah anak-anak kita berhasil menarik pelajaran-pelajaran seperti yang
disebutkan di atas?Melihat fenomena banyak orang yang tidak menghargai waktu,
tidak sabaran, suka menginjak hak-hak sesamanya, tidak taat aturan, tidak
menghargai hukum, dan tidak punya rasa malu, rasanya kita sudah bisa
menjawabnya.
Agaknya,
kebiasaan mengantre memang tidak pernah dibudayakan. Kalaupun pernah diajarkan,
rasanya hanya sambil lalu. Memang beberapa tahun lalu ada iklan layanan
masyarakat yang mengimbau agar orang mau antre. Namun dampaknya tidak menohok
ke dalam hati.
Hal
ini diperparah dengan minimnya keteladanan dan penegakan hukum. Misalnya,
banyak orang tua yang justru mendorong anaknya menyerobot antrean dengan aneka
dalih. Ada lagi orang yang tanpa rasa malu menerobos barisan namun dibiarkan
(atau terpaksa dibiarkan) karena orang tersebut dianggap terhormat dan
menduduki posisi penting. Dan jangan pernah berpikir untik menegur orang ini.
Semprotan, bahkan tamparan dalam kasus ekstrem, siap menyambut. Reaksi pihak
berwenang?Anda tahu sendiri jawabannya.
Jika
kondisinya tetap seperti ini, kapan negeri ini dapat tertib dan maju?