Selasa, 31 Maret 2015

Tak Pernah Dibudayakan

Bagi yang sering naik bus Transjakarta, tentu pernah mengalami antre di dalam halte dalam waktu lama menunggu kedatangan bus.  Saat sebuah bus tiba,  penumpang berebutan masuk. Semuanya ingin cepat terangkut karena kalau tidak mereka harus menunggu bus berikutnya,  ysng baru akan tiba entah berapa lama lagi. Akibatnya,  banyak yang tidak mau antre sebab bagi mereka jika ikut antre tidak akan dapat terangkut, sedangkan mereka ingin atau harus cepat sampai karena sudah lelah atau takut terlambat.  Padahal telah dipampang tulisan untuk mendahulukan yang turun. Tapi berapa orang yang peduli?Begitu pintu bus terbuka, banyak orang di halte langsung melangkahkan kakinya ke dalam bus, padahal belum ada penumpang bus yang keluar.  Kondisi ini dapat diamati di hampir semua koridor.  Kondisi yang semrawut ini juga mengakibatkan penumpang rentan menjadi korban kejahatan, semisal pencopetan dan pelecehan.  
Pemandangan orang berebutan untuk menikmati layanan ini tidak hanya dapat dilihat di halte bus Transjakarta, melainkan juga di tempat-tempat lain semisal di stasiun KA. Melihat fenomena itu, penulis teringat dengan  sebuah tulisan yang pernah penulis baca serta sebarluaskan di salah satu jejaring sosial.  Tulisan itu berisi ungkapan seorang guru di negeri Kangguru Australia, yang menyatakan dirinya tidak begitu cemas jika murid-muridnya tidak pandai mengerjakan soal-soal matematika.  Namun dirinya dan juga guru-guru lainnya sangat takut jika para murid tidak bisa dan/atau tidak mau antre menunggu giliran. Mengapa demikian?Bagi guru tersebut, paling tidak ada dua alasan.  Pertama, agar mahir dalam matematika, seorang anak hanya membutuhkan kurang lebih 3 bulan latihan intensif, sedangkan untuk mengantre membutuhkan waktu jauh lebih lama, yaitu 12 tahun. Kedua, tidak  semua ilmu matematika yang diajarkan di sekolah kelak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Paling banter hanya penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.  Ini penulis alami sendiri. Saat duduk di bangku SMP dan SMA, penulis belajar teori-teori matematika seperti kalkulus dan trigonometri. Namun tak satu pun teori-teori itu yang penulis manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.  Berbeda halnya dengan mengantre. Hampir setiap hari orang harus mengantre untuk memperoleh atau melakukan sesuatu, seperti membayar barang, naik  turun tangga, memesan makan di tempat makan, mengemudikan mobil atau sepeda motor di jalan, dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam tulisan itu juga dikemukakan pelajaran-pelajaran berharga yang diperoleh dari kebiasaaan mengantre bagi seorang anak, yaitu belajar mengatur waktu, melatih kesabaran, belajar menghormati hak orang lain,  belajar untuk berdisiplin, merangsang kreativitas, belajar bersosialisasi khususnya dengan sesama pengantre,  belajar hukum sebab akibat, dan belajar memiliki rasa malu jika menyerobot antrean.
Pertanyaannya, adakah anak-anak kita berhasil menarik pelajaran-pelajaran seperti yang disebutkan di atas?Melihat fenomena banyak orang yang tidak menghargai waktu, tidak sabaran, suka menginjak hak-hak sesamanya, tidak taat aturan, tidak menghargai hukum, dan tidak punya rasa malu, rasanya kita sudah bisa menjawabnya.
Agaknya, kebiasaan mengantre memang tidak pernah dibudayakan. Kalaupun pernah diajarkan, rasanya hanya sambil lalu. Memang beberapa tahun lalu ada iklan layanan masyarakat yang mengimbau agar orang mau antre. Namun dampaknya tidak menohok ke dalam hati.
Hal ini diperparah dengan minimnya keteladanan dan penegakan hukum. Misalnya, banyak orang tua yang justru mendorong anaknya menyerobot antrean dengan aneka dalih. Ada lagi orang yang tanpa rasa malu menerobos barisan namun dibiarkan (atau terpaksa dibiarkan) karena orang tersebut dianggap terhormat dan menduduki posisi penting. Dan jangan pernah berpikir untik menegur orang ini. Semprotan, bahkan tamparan dalam kasus ekstrem, siap menyambut. Reaksi pihak berwenang?Anda tahu sendiri jawabannya.
Jika kondisinya tetap seperti ini, kapan negeri ini dapat tertib dan maju?