Sabtu, 19 Juli 2014

Sabella, Lippi, dan Del Bosque



Pelatih tim nasional Argentina, Alejandro Sabella, akan mundur dari jabatannya pasca Piala Dunia 2014 di Brasil, apapun hasil pertandingan final antara tiimnya dengan Jerman. Hal ini dikonfirmasi oleh agen Sabella, Eugenio Lopez. Keputusan Sabella ini berlainan dengan keinginan Persatuan Sepak Bola Argentina, yang menginginkannya tetap bertahan.
Sabella ditunjuk untuk melatih Argentina pada tahun 2011. Selama masa kepelatihannya, tim Tango mencatat prestasi fenomenal: untuk pertama kalinya meloloskan Argentina ke final Piala Dunia setelah 24 tahun. Pada tahun 1990, Argentina berhasil masuk final, namun kalah 1-0 dari Jerman (Barat).
Terlepas Argentina jadi juara atau tidak, mundur setelah tim nasional yang diasuhnya mencetak prestasi tinggi bukanlah fenomena baru. Inilah yang dilakukan oleh Franz Beckenbauer setelah sukses membawa Jerman jadi juara dunia tahun 1990. Contoh lainnya adalah  Carlos Alberto Pareira (Brasil tahun 1994), Luis Felipe Scolari  (Brasil tahun 2002), dan Marcello Lippi (Italia tahun 2006).
Alasan mundurnya mereka bisa bermacam-macam.  Diantaranya adalah ketidaksepakatan dalam hal kompensasi. Maksudnya, tuntutan kompensasi yang diajukan tidak bisa dipenuhi oleh federasi sepak bola negara yang bersangkutan. Namun kompensasi bukanlah satu-satunya alasan.  Sebuah federasi sepak bola tentu sadar menjadi pelatih tim nasional adalah tugas berat. Oleh karenanya, mereka umumnya tidak keberatan memberi gaji tinggi.
Alasan mereka untuk mundur umumnya berkaitan dengan idealisme.  Mundur setelah meraih kesuksesan dilakukan agar nama mereka tetap harum dan dikenang.  Bukan hanya itu, pandangan-pandangan mereka juga akan dihargai. Hal ini ternyata bukan hanya terjadi dalam dunia sepak bola. Dalam dunia bisnis, banyak pemimpim perusahaan yang memilih mundur dari jabatannya justru saat kinerja perusahaan sedang bagus-bagusnya. Hal yang sama berlaku untuk pemimpin-pemimpin pemerintahan, seperti presiden atau perdana menteri.  Lee Kuan Yew mundur dari posisinya sebagai perdana menteri saat ekonomi Singapura sedang berkembang pesat.  Dan terbukti lama setelah ia mundur, ia masih tetap disegani oleh rakyat Singapura.
Alasan lain: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Pepatah lama ini agaknya tetap relevan hingga kini. Saat anda juara atau mencatat prestasi yang fenomenal, semua orang rasanya ingin mengalahkan anda. Banyak orang yang merasa dirinya tidak lagi memiliki energi yang besar untuk mempertahankan apa yang sudah diraih.  Bila dipaksakan, hasilnya justru bisa berbalik: tim dan organisasi yang dipimpinnya justru akan terpuruk.  Inilah yang terjadi pada Marcello Lippi saat menukangi tim nasional Italia pada Piala Dunia tahun 2010 di Afrika Selatan. Italia harus tersingkir di babak penyisihan. Italia bahkan tidak mampu menang atas Selandia Baru, tim yang sebagian besar berisi pemain-pemain amatir. Padahal empat tahun sebelumnya Lippi berhasil membawa Italia menjadi juara dunia.  Hal yang sama terjadi pada Vicente Del Bosque, pelatih Spanyol yang sukses membawa negaranya menjuarai Piala Dunia 2010.  Di Piala Dunia 2014, Spanyol harus lebih awal pulang kandang.
Zaman yang berubah kerap menuntut pelatih yang sukses untuk meninggalkan posisinya. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai senjata yang mematikan lawan, suatu saat justru menjadi usang. Sebuah pendapat menarik dikemukakan oleh Jose Mourinho, pelatih Chelsea, terkait kegagalan Spanyol di Piala Dunia 2014.  Menurut Mourinho, Spanyol telah mendominasi sepak bola selama empat hingga enam tahun terakhir, sehingga tim-tim lain telah mempelajari bagaimana melawan mereka, tetapi sang juara dunia tidak mampu beradaptasi. Agaknya, Spanyol memang terlena dengan prestasi mereka yang memang fenomenal, yaitu juara dunia 2010 dan juara Eropa dua kali berturut-turut, masing-masing tahun 2008 dan 2012. Dalam sejarah, belum pernah ada negara yang sebelumnya mampu menggapai prestasi ini. Dampaknya, Spanyol masih mengandalkan muka-muka lama yang boleh jadi motivasinya sudah tidak seperti dulu. Kondisi ini sejatinya mirip dengan yang terjadi di dunia politik. Banyak pemimpin yang emggan turun lantaran terbuai dengan pujian-pujian yang diterimanya.
Pemimpin-pemimpin besar memang tahu kapan saatnya harus mundur meski kekuasaan itu begitu menggoda.