Pelatih
tim nasional Argentina, Alejandro Sabella, akan mundur dari jabatannya pasca
Piala Dunia 2014 di Brasil, apapun hasil pertandingan final antara tiimnya
dengan Jerman. Hal ini dikonfirmasi oleh agen Sabella, Eugenio Lopez. Keputusan
Sabella ini berlainan dengan keinginan Persatuan Sepak Bola Argentina, yang
menginginkannya tetap bertahan.
Sabella
ditunjuk untuk melatih Argentina pada tahun 2011. Selama masa kepelatihannya,
tim Tango mencatat prestasi fenomenal: untuk pertama kalinya meloloskan Argentina
ke final Piala Dunia setelah 24 tahun. Pada tahun 1990, Argentina berhasil
masuk final, namun kalah 1-0 dari Jerman (Barat).
Terlepas
Argentina jadi juara atau tidak, mundur setelah tim nasional yang diasuhnya
mencetak prestasi tinggi bukanlah fenomena baru. Inilah yang dilakukan oleh
Franz Beckenbauer setelah sukses membawa Jerman jadi juara dunia tahun 1990.
Contoh lainnya adalah Carlos Alberto
Pareira (Brasil tahun 1994), Luis Felipe Scolari (Brasil tahun 2002), dan Marcello Lippi
(Italia tahun 2006).
Alasan
mundurnya mereka bisa bermacam-macam.
Diantaranya adalah ketidaksepakatan dalam hal kompensasi. Maksudnya, tuntutan
kompensasi yang diajukan tidak bisa dipenuhi oleh federasi sepak bola negara
yang bersangkutan. Namun kompensasi bukanlah satu-satunya alasan. Sebuah federasi sepak bola tentu sadar
menjadi pelatih tim nasional adalah tugas berat. Oleh karenanya, mereka umumnya
tidak keberatan memberi gaji tinggi.
Alasan
mereka untuk mundur umumnya berkaitan dengan idealisme. Mundur setelah meraih kesuksesan dilakukan
agar nama mereka tetap harum dan dikenang.
Bukan hanya itu, pandangan-pandangan mereka juga akan dihargai. Hal ini
ternyata bukan hanya terjadi dalam dunia sepak bola. Dalam dunia bisnis, banyak
pemimpim perusahaan yang memilih mundur dari jabatannya justru saat kinerja
perusahaan sedang bagus-bagusnya. Hal yang sama berlaku untuk pemimpin-pemimpin
pemerintahan, seperti presiden atau perdana menteri. Lee Kuan Yew mundur dari posisinya sebagai
perdana menteri saat ekonomi Singapura sedang berkembang pesat. Dan terbukti lama setelah ia mundur, ia masih
tetap disegani oleh rakyat Singapura.
Alasan
lain: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Pepatah lama ini agaknya
tetap relevan hingga kini. Saat anda juara atau mencatat prestasi yang
fenomenal, semua orang rasanya ingin mengalahkan anda. Banyak orang yang merasa
dirinya tidak lagi memiliki energi yang besar untuk mempertahankan apa yang
sudah diraih. Bila dipaksakan, hasilnya
justru bisa berbalik: tim dan organisasi yang dipimpinnya justru akan terpuruk. Inilah yang terjadi pada Marcello Lippi saat
menukangi tim nasional Italia pada Piala Dunia tahun 2010 di Afrika Selatan.
Italia harus tersingkir di babak penyisihan. Italia bahkan tidak mampu menang
atas Selandia Baru, tim yang sebagian besar berisi pemain-pemain amatir. Padahal
empat tahun sebelumnya Lippi berhasil membawa Italia menjadi juara dunia. Hal yang sama terjadi pada Vicente Del
Bosque, pelatih Spanyol yang sukses membawa negaranya menjuarai Piala Dunia
2010. Di Piala Dunia 2014, Spanyol harus
lebih awal pulang kandang.
Zaman
yang berubah kerap menuntut pelatih yang sukses untuk meninggalkan posisinya.
Apa yang sebelumnya dianggap sebagai senjata yang mematikan lawan, suatu saat
justru menjadi usang. Sebuah pendapat menarik dikemukakan oleh Jose Mourinho,
pelatih Chelsea, terkait kegagalan Spanyol di Piala Dunia 2014. Menurut Mourinho, Spanyol telah mendominasi
sepak bola selama empat hingga enam tahun terakhir, sehingga tim-tim lain telah
mempelajari bagaimana melawan mereka, tetapi sang juara dunia tidak mampu
beradaptasi. Agaknya, Spanyol memang terlena dengan prestasi mereka yang memang
fenomenal, yaitu juara dunia 2010 dan juara Eropa dua kali berturut-turut,
masing-masing tahun 2008 dan 2012. Dalam sejarah, belum pernah ada negara yang
sebelumnya mampu menggapai prestasi ini. Dampaknya, Spanyol masih mengandalkan
muka-muka lama yang boleh jadi motivasinya sudah tidak seperti dulu. Kondisi
ini sejatinya mirip dengan yang terjadi di dunia politik. Banyak pemimpin yang
emggan turun lantaran terbuai dengan pujian-pujian yang diterimanya.
Pemimpin-pemimpin
besar memang tahu kapan saatnya harus mundur meski kekuasaan itu begitu menggoda.