Minggu, 27 Desember 2015

Tak Mau Menodai Nilai



“Mau pesan isi berapa?”
“Sory baru balas”
“Isi 15 aja”
“Tulisannya “Merry Xmas mama Tisya”
“Mohon maaf. Kami tidak bisa melayani ucapan natal”
Itu adalah dialog pesan singkat antara Tyok Aditya Setyo dengan Toko Donat Mungil Malang. Tyok kemudian menempelkan dialog tersebut di dinding akun Facebook miliknya. Inti percakapan tersebut adalah: Donat mungil menolak permintaan Tyok untuk menuliskan ucapan selamat natal pada donat yang dipesannya.
Segera saja sikap Donat Mungil ini ramai menjadi bahan perbincangan pengguna internet. Banyak yang menghujat kebijakan ini. Donat Mungil pun ramai-ramai dirundung di media sosial. Munculah tulisan-tulisan seperti, “Fanatik amat sih...", "Ganti jeneng ae Donat Islam Ekstrimis", dan "utek e cekak wong si dodol". Donat Mungil dianggap tidak toleran karena tidak mau menuliskan ucapan Selamat Natal sesuai keinginan pemesan.
Namun tak sedikit pula yang membela. Di antaranya adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Luthfi Bashori. Menurut Luthfi, seperti dikutip www.hidayatullah.com, apa yang dilakukan oleh pemilik toko sudah sesuai dengan tuntunan Islam. Lagi pula, menurut Kiai Luthfi, keputusan pemilik Donat Mungil merupakan hak individu dalam bermuamalah berdasarkan tuntunan agama yang dianut.
Menanggapi kebijakan yang kontroversial ini, Putri Priyanti, pemilik Donat Mungil, mengatakan bahwa hal itu ia lakukan murni karena keyakinan dirinya sebagai seorang Muslim. Menghadapi kritikan dan cacian yang diterimanya, ia mengatakan mengambil hal positifnya saja. Ia pun tak takut omzet penjualan usaha miliknya akan turun.
Tidak. Penulis tidak akan mengulas masalah hukum mengucapkan selamat natal dalam tulisan ini.   Tentu ada yang lebih berkompeten dan terpercaya melakukannya, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam dan hati yang bersih. Silakan baca diskusi tentang masalah ini di tempat lain. Tak sulit menemukannya.
Bagi penulis, apa yang dilakukan oleh pemilik Donat Mungil adalah cerminan dari nilai yang dianutnya. Dalam kaitannya dengan budaya sebuah organisasi, nilai-nilai pribadi yang digenggam pemilik atau pemimpin kerap terejawantahkan dalam sikap, tingkah laku, dan kebijakannya terhadap organisasi. Nilai-nilai ini akan menjadi panduan dalam menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, pantas dan tidak pantas dikerjakan. Nilai-nilai ini berbeda bagi masing-masing individu dan organisasi. Pepatah “lain padang, lain belalang” berlaku di sini. Jadi, penolakan pemilik Donat Mungil untuk menuliskan ucapan Selamat Natal pada kue yang dipesan pelanggannya berakar dari nilai pribadi yang menekankan betapa pentingnya menjaga akidah atau keyakinan pokok Islam. Jangan sampai ada hal-hal sekecil apapun, yang menodai keyakinan pokok ini. Namun nilai ini kerap tidak berlaku bagi orang lain. Tentu kita banyak menjumpai produsen yang tidak berkeberatan menerima pesanan bertulisan ucapan selamat natal, meski pemiliknya seorang Muslim. Bagi para pedagang ini, sah-sah saja menerima pesanan yang demikian.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kebijakan yang dinilai kontroversial oleh sebagian orang ini akan mampu menarik minat pembeli, khususnya kalangan muslim? Ini yang masih harus dibuktikan. Pemilik Donat Mungil boleh saja berkeyakinan donat yang dijualnya akan tetap laku. Namun semata-mata mengandalkan sentimen keagamaan rasanya absurd. Pasalnya, begitu banyak produsen donat di negeri ini, mulai dari skala raksasai hingga liliput. Banyak dari mereka yang meski tidak menonjolkan simbol-simbol agama, namun menjajakan produk halal, baik zatnya, perolehannya, pengolahannya, hingga penyajiannya. Jika tidak puas dengan Donat Mungil, tentu mereka akan berpaling ke toko lain.
Oleh karenanya, di samping mengandalkan simbol suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), nilai-nilai bisnis yang universal semisal pelayanan prima pada pelanggan, kualitas produk, kebersihan, kesejahteraan karyawan, dan kejujuran wajib diterapkan. Tanpa itu semua, cepat atau lambat perusahaan akan ditinggalkan oleh pelanggan.