Sabtu, 17 Mei 2014

Enyahkan

Pemain tim nasional Brasil, Dani Alves, mengambil sepak pojok saat klub yang diperkuatnya, Barcelona, berhadapan dengan Villarreal dalam kompetisi sepakbola Liga Spanyol musim 2013/2014.  Tiba-tiba, sebuah pisang dilemparkan dari tribune penonton dan mendarat tepat di dekat Alves. Alves, kelahiran Juazeiro, Brasil, 6 Mei 1983 itu  kemudian mengambil pisang itu, mengupas, dan memakannya satu gigitan. Kemudian ia melanjutkan mengambil sepak pojok. Dalam pertandingan itu, Barcelona mengalahkan Villarreal dengan skor 3-2.
Peristiwa itu terekam dan dapat disaksikan di seluruh dunia melalui internet. Umumnya, orang bersimpati atas tindakan Alves. Stasiun televisi CNN menyebutnya sebagai humor melawan rasisme dalam sepakbola. Rekan seklub dan senegara Alves, Neymar, berkomentar dalam akun Twitternya, “Kita memang sekumpulan monyet. Lalu kenapa?”. Mantan pemain Barcelona dan tim nasional Inggris, Gary Lineker, turut memuji tindakan Alves. “Reaksi yang sungguh Brilian dari Alves”, kata Lineker.
Pihak Villarreal sendiri menyatakan sangat menyesalkan insiden itu. Klub yang dilatih Marcelino Garcia Toral itu juga mengatakan telah mengenal identitas orang yang melakukan perbuatan tercela itu, menarik kartu keanggotaan klub, dan melarang orang tersebut menginjakkan kaki di stadion El Madrigol, markas Villarreal,  seumur hidup.
Alves bukanlah orang pertama yang dengan jenaka menanggapi perlakuan rasis sekumpulan penonton saat pertandingan berlangsung. Pada tahun 2005, Samuel Eto’o, pemain asal Kamerun yang saat itu memperkuat Barcelona, menari layaknya seekor monyet setelah berhasil menciptakaan gol ke gawang Real Zaragoza. Hal ini sebagai tanggapan atas suara-suara monyet yang diarahkan padanya setiap kali ia menggiring bola. Bukan hanya itu, ia juga dilempari kacang saat berhasil mencetak gol. Menanggapi aksinya itu, Eto’o mengatakan bahwa ia menari seperti monyet karena ada penonton yang memperlakukannya seperti monyet. Barcelona mengalahkan Real Zaragoza 4-0 dalam pertandingan itu. Dan pada tahun itu pula, Eto’o terpilih sebagai pemain terbaik Afrika.
Tak Hanya di Eropa, Bukan Hanya oleh Penonton
Rasisme dalam sepakbola terjadi tatkala pemain dilecehkan karena warna kulit, etnis, dan kebangsaan. Yang melecehkan merasa bahwa golongan, suku, dan bangsa mereka lebih tinggi derajatnya ketimbang yang dilecehkan. Rasisme bukan hanya terjadi di negara-negara Eropa, melainkan juga di negara-negara di kawasan lain semisal Asia (Hong Kong, Jepang, dan Filipina). Amerika Utara (Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada), dan Amerika Selatan (Brasil dan Argentina). Bukan hanya dilakukan oleh penonton dalam bentuk ejekan dan lemparan seperti yang dialami Alves dan Eto’o, melainkan juga dilakukan oleh pihak-pihalk lainnya semisal pelatih,  pemain,  dan komentator.
Bukan Pilihan
Seprti halnya dalam bidang-bidang lainnya, rasisme dalam sepakbola harus dilenyapkan. Mengapa seseorang harus dihina lantaran warna kulit, etnis, dan kebangsaan yang berbeda? Kesemuanya itu adalah pemberian, bukan pilihan.  Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih untuk berkulit hitam, putih, atau kuning. Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih untuk beretnis Arab, Tiongkok, Urdu, dan sebagainya. Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat memilih tempat kelahirannya, apakah di Indonesia, India, Brazil, Inggris, Meksiko, dan sebagainya. Namun Tuhan maha adil. Meski berbeda warna kulit, etnis, dan kebangsaan, setiap individu dianugerahi potensi yang sama untuk berkembang. Kemuliaan seseorang tidak tergantung warna kulit, etnis, dan tempat lahir, melainkan oleh seberapa banyak kebaikan yang ia lakukan.

Federati-federasi sepakbola, baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional telah berupaya mengatasi masalah rasisme, baik melalui peraturan maupun sanksi. Hal ini tentu patut kita dukung. Namun para pemain yang rentan mendapat perlakuan rasis juga diharapkan dapat bersatu serta menemukan cara-cara kreatif, seperti yang dilakukan Alves dan Eto’o.  Mari enyahkan rasisme dari muka bumi.