Pemain
tim nasional Brasil, Dani Alves, mengambil sepak pojok saat klub yang
diperkuatnya, Barcelona, berhadapan dengan Villarreal dalam kompetisi sepakbola
Liga Spanyol musim 2013/2014. Tiba-tiba,
sebuah pisang dilemparkan dari tribune penonton dan mendarat tepat di dekat
Alves. Alves, kelahiran Juazeiro, Brasil, 6 Mei 1983 itu kemudian mengambil pisang itu, mengupas, dan
memakannya satu gigitan. Kemudian ia melanjutkan mengambil sepak pojok. Dalam
pertandingan itu, Barcelona mengalahkan Villarreal dengan skor 3-2.
Peristiwa
itu terekam dan dapat disaksikan di seluruh dunia melalui internet. Umumnya, orang
bersimpati atas tindakan Alves. Stasiun televisi CNN menyebutnya sebagai humor
melawan rasisme dalam sepakbola. Rekan seklub dan senegara Alves, Neymar, berkomentar
dalam akun Twitternya, “Kita memang sekumpulan monyet. Lalu kenapa?”. Mantan
pemain Barcelona dan tim nasional Inggris, Gary Lineker, turut memuji tindakan
Alves. “Reaksi yang sungguh Brilian dari Alves”, kata Lineker.
Pihak
Villarreal sendiri menyatakan sangat menyesalkan insiden itu. Klub yang dilatih
Marcelino Garcia Toral itu juga mengatakan telah mengenal identitas orang yang
melakukan perbuatan tercela itu, menarik kartu keanggotaan klub, dan melarang
orang tersebut menginjakkan kaki di stadion El Madrigol, markas Villarreal, seumur hidup.
Alves
bukanlah orang pertama yang dengan jenaka menanggapi perlakuan rasis sekumpulan
penonton saat pertandingan berlangsung. Pada tahun 2005, Samuel Eto’o, pemain
asal Kamerun yang saat itu memperkuat Barcelona, menari layaknya seekor monyet
setelah berhasil menciptakaan gol ke gawang Real Zaragoza. Hal ini sebagai
tanggapan atas suara-suara monyet yang diarahkan padanya setiap kali ia
menggiring bola. Bukan hanya itu, ia juga dilempari kacang saat berhasil
mencetak gol. Menanggapi aksinya itu, Eto’o mengatakan bahwa ia menari seperti
monyet karena ada penonton yang memperlakukannya seperti monyet. Barcelona
mengalahkan Real Zaragoza 4-0 dalam pertandingan itu. Dan pada tahun itu pula,
Eto’o terpilih sebagai pemain terbaik Afrika.
Tak Hanya di Eropa, Bukan Hanya
oleh Penonton
Rasisme
dalam sepakbola terjadi tatkala pemain dilecehkan karena warna kulit, etnis,
dan kebangsaan. Yang melecehkan merasa bahwa golongan, suku, dan bangsa mereka
lebih tinggi derajatnya ketimbang yang dilecehkan. Rasisme bukan hanya terjadi
di negara-negara Eropa, melainkan juga di negara-negara di kawasan lain semisal
Asia (Hong Kong, Jepang, dan Filipina). Amerika Utara (Amerika Serikat,
Meksiko, dan Kanada), dan Amerika Selatan (Brasil dan Argentina). Bukan hanya
dilakukan oleh penonton dalam bentuk ejekan dan lemparan seperti yang dialami
Alves dan Eto’o, melainkan juga dilakukan oleh pihak-pihalk lainnya semisal
pelatih, pemain, dan komentator.
Bukan Pilihan
Seprti
halnya dalam bidang-bidang lainnya, rasisme dalam sepakbola harus dilenyapkan. Mengapa
seseorang harus dihina lantaran warna kulit, etnis, dan kebangsaan yang
berbeda? Kesemuanya itu adalah pemberian, bukan pilihan. Tidak ada orang yang sebelum lahir dapat
memilih untuk berkulit hitam, putih, atau kuning. Tidak ada orang yang sebelum
lahir dapat memilih untuk beretnis Arab, Tiongkok, Urdu, dan sebagainya. Tidak
ada orang yang sebelum lahir dapat memilih tempat kelahirannya, apakah di
Indonesia, India, Brazil, Inggris, Meksiko, dan sebagainya. Namun Tuhan maha
adil. Meski berbeda warna kulit, etnis, dan kebangsaan, setiap individu dianugerahi
potensi yang sama untuk berkembang. Kemuliaan seseorang tidak tergantung warna
kulit, etnis, dan tempat lahir, melainkan oleh seberapa banyak kebaikan yang ia
lakukan.
Federati-federasi
sepakbola, baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional telah
berupaya mengatasi masalah rasisme, baik melalui peraturan maupun sanksi. Hal
ini tentu patut kita dukung. Namun para pemain yang rentan mendapat perlakuan
rasis juga diharapkan dapat bersatu serta menemukan cara-cara kreatif, seperti
yang dilakukan Alves dan Eto’o. Mari
enyahkan rasisme dari muka bumi.