Minggu, 13 Januari 2013

Masih Ada yang Kurang



Badan tertinggi sepakbola dunia, FIFA, telah menetapkan Lionel Messi sebagai pemain terbaik dunia tahun 2012.  Ini adalah keempat kalinya Messi meraih penghargaan yang sama, melebihi prestasi Michel Platini, Johan Cruyff, dan Marco van Basten.
Messi tentu senang dengan penghargaan ini. Namun kepada The Sun, ia mengatakan rela menukar penghargaan yang diterimanya dengan sebuah trofi Piala Dunia bersama Argentina. Menurutnya, tidak ada yang bisa menandingi Piala Dunia.
Agaknya, belum berhasilnya Messi mengangkat trofi Piala Dunia bersama tim nasional Agrentina  inilah yang membuat sebagian kalangan ragu mensejajarkannya dengan legenda sepakbola macam Pele, Diego Maradona, dan Franz Beckenbauer. Messi boleh saja sukses meraih semua gelar dan piala bersama klub Barcelona. Namun tanpa gelar dan juara bersama tim nasional, baik Piala Dunia maupun (dalam kasus Messi) Copa America, rasanya masih ada yang kurang. Memang Messi masih lebih baik ketimbang Ryan Giggs, yang bersinar di Manchester United (MU) namun belum pernah tampil di Piala Dunia karena Wales, negara asal Giggs, hanyalah tim kelas dua di Eropa. Namun pencapaian Messi tetap saja dianggap belum lengkap. Apatah lagi Argentina bukanlah Negara kelas dua dalam sepakbola.  Negara ini secara konsisten melahirkan bintang-bintang dengan talenta dan teknik individual yang tinggi. Sebutlah nama-nama semisal Juan Roman Riquelme dan Javier Saviola. Namun mereka bersinar hanya pada level yunior. Begitu masuk ke level senior, prestasi mereka meredup.
Nasionalisme
Mengapa kejuaraan sepakbola antara negara dinilai lebih bergengsi ketimbang kejuaraan sepakbola antar klub? Perrtama, kejuaraan antar negara  identik dengan nasionalisme dan kebanggaan sebuah bangsa. Bila mampu berprestasi gemilang dalam sepakbola, sebuah negara dapat terangkat harkat dan martabatnya meski kondisi ekonomi, sosial, dan politik negara itu dilanda kekacauan. Contohnya adalah Irak yang berhasil menjadi juara Piala Asia tahun 2007. Padahal negara itu masih dilanda perang Contoh yang lebih terkenal adalah Brasil. Meski masih tergolong negara berkembang dari sisi ekonomi, namun tidak ada yang meragukan prestasi sepakbola negara dengan luas wilayah terbesar di Amerika Latin itu. Brasil adalah pemegang juara dunia lima kali, lebih banyak dari negara manapun. 
Tidak jarang apa yang sedang terjadi di sebuah negara berpengaruh hingga ke lapangan hijau. Lihatlah suasana sebelum pertandingan bila tim nasional Indonesia dan tim nasional Malaysia saling berhadapan. Kondisi ini mencerminkan rivalitas antara kedua negara dalam ekoomi dan politik. Kondisi serupa terjadi juga di kawasan lain, misalnya antara Brasil dan Argentina di Amerika Latin, atau antara  Jerman dan Belanda di Eropa. 
Kedua, faktor asal-usul pemain. Dalam sebuah klub, faktor uang kerap menjadi pertimbangan dalam pengelolaannya. Seiring  maraknya globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara, sebuah klub relatif lebih bebas memiliki pemain tanpa mempertimbangkan asal-usul negara. Tak heran bila banyak klub kaya membeli pemain bintang tanpa mempedulikan asal-usul negara sang bintang. Sedangkan di tim nasional, pelatih hanya boleh memanggil pemain yang memiliki status kewarganegaraan tim nasional yang diwakilinya. Dan kita semua tahu, tidak mudah menjadi warga negara sebuah bangsa. Maka, mencari pemain untuk memperkuat tim nasional lebih sulit ketimbang mencari pemain untuk klub. Bila seorang pemain dibeli oleh sebuah klub dan berhasil, ia hanya akan menjadi kebanggaan klub itu. Namun bila seorang pemain dipanggil memperkuat tim nasional dan sukses, ia menjadi kebanggaan negara, melewati sekat-sekat klub yang berkompetisi di negerinya.
Faktor Usia
Faktor ketiga adalah  waktu. Tidak seperti kejuaraan antar klub, kejuaraan antar negara tidak berlangsung setiap tahun. Artinya kesempatan  meraih prestasi tertinggi lebih sedikit. Bila gagal meraih prestasi saat ini, belum tentu kesempatan yang sama akan datang dua atau empat tahun kemudian. Faktor usia,  kondisi fisik, dan munculnya pesaing kerap menjadi penghalang.
Tumpulnya Messi di tim nasional Argentina juga mengajarkan satu hal: bahwa sepakbola adalah olahraga tim. Sehebat apapun seorang pemain, ia tidak berdaya tanpa dukungan rekan-rekan satu tim. Di Barcelona, Messi mendapat dukungan dari pemain-pemain semisal Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, sesuatu yang tidak ia dapatkan di tim nasional Argentina.