Semenjak
berhasil menggondol piala dunia bulan Juli tahun lalu di Brasil, penampilan
Jerman di babak penyisihan Piala Eropa 2016 belum meyakinkan. Setelah lebih
dari delapan tahun Joachim Loew menangani tim nasional Jerman, baru kali ini
tim Panser tidak mendominasi fase penyisihan grup untuk turnamen-turnamen besar.
Sejak dimulainya babak penyisian Piala Eropa hingga akhir tahun 2014 lalu, Jerman
hanya berada di urutan kedua Grup D, tiga angka di belakang Polandia dan sama
dengan Skotlandia dan Irlandia. Jerman bahkan dikalahkan oleh Polandia dengan
skor 2-1. Ini adalah kekalahan pertama Jerman dari negara tetangganya itu
setelah 19 kali pertemuan. Jerman juga hanya mampu bermain imbang dengan
Irlandia, sebelum berhasil menumbangkan Gibraltar, sebuah negara kecil di
Eropa, dengan skor 4-0. Lucunya, pelatih
Gibraltar saat itu, Allen Bulla (kini telah dipecat), menyebut kekalahan ini
sebagai “hasil yang hebat” lantaran timnya hanya kemasukan empat gol. Gibraltar
kalah dengan skor yang lebih besar saat menghadapi Irlandia dan Polandia,
masing-masing dengan skor 7-0.
Kabar
baiknya, Jerman berhasil meraih kemenangan 2-0 atas Georgia dalam lanjutan
penyisihan Piala Eropa 2016 pada bulan Maret lalu. Dengan kemenangan ini, Jerman hanya terpaut 1 poin dengan
Polandia yang sedang memimpin klasemen setelah 5 pertandingan. Apakah Jerman
akan kembali mendominasi penyisihan grup? Masih harus dibuktikan karena semua
tim baru menyelesaikan kurang lebih setengah perjalanan.
Apakah Jerman belum lepas dari euforia setelah
berhasil menjadi juara di Brasil, paling tidak hingga akhir tahun lalu? Jika
demikian, tim panser dapat menjadi contoh tentang organisasi yang mengalami
euforia setelah berhasil mengukir prestasi fenomenal, atau menyelesaikan
proyek-proyek bernilai miliaran rupiah. Euforia ini bisa dialami baik oleh
organisasi maupun individu. Misalnya,
seseorang begitu bergembira serta berpesta setelah sukses menjadi juara dalam lomba tertentu atau
berhasil memenangkam kontrak yang menguntungkan
baik bagi dirinya ataupun organisasi tempatnya bernaung. Akibat tenggelam dalam perasaan gembira yang
berlebihan ini, ia jadi enggan untuk melihat dan melangkah ke depan. Seolah-olah ia lupa bahwa tugas-tugas dan
tantangan-tantangan berikutnya telah menantinya di depan sana. Akibatnya, saat memulai hal baru ia jadi
kedodoran lantaran ia membuat persiapan secara seadanya. Prestasinya, paling tidak pada masa awal
mengerjakan tugas baru, tidak seperti yang diharapkan.
Hal
ini tentu tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Karena jika dibiarkan
berlarut-larut, sinar kecemerlangan yang telah susah payah dipancarkan
perlahan-lahan akan padam. Kepercayaan orang lain terhadap dirinya akan
terkikis. Prestasi-prestasi yang telah dicapainya di masa lalu menjadi semakin
tanpa makna.
Lantas
bagaimana caranya agar kita tidak kehilangan semangat untuk berbuat yang
terbaik pasca kesuksesan sebelumnya?Tentunya, perlu ditanamkan kesadaran bahwa tantangan
yang akan di hadapi di masa depan akan jauh lebih berat seiring dengan
perubahan lingkungan. Sebagai contoh adalah bila kita memenangkan kejuaraan
olahraga. Semua lawan yang kita kalahkan pasti ingin dapat “membalas dendam”
atas kekalahannya. Untuk itu, mereka
berlatih lebih keras, melakukan persiapan yang lebih dini dan lebih baik, dan
membenahi manajemen olahraga mereka.
Jika sang juara tidak melakukan terobosan, tidak mau berlatih lebih giat,
dan masih bertahan dengan cara-cara lama, ia pasti akan tergilas di kejuaraan
atau pertandingan-pertandingan berikutnya.
Dalam hal ini, prinsip “mempertahankan lebih sulit daripada merebut”
menemukan relevansinya.
Tantangan
yang lebih berat ini tentu tidak hanya berlaku dalam dunia olahraga. Dalam
dunia bisnis misalnya, pesaing tidak tidur. Mereka akan berusaha dengan segala
daya dan upaya untuk menang. Jika lengah dan terlena, bersiap-siaplah untuk
kalah dan merana. Belum lagi faktor-faktor perubahan lingkungan ekonomi,
sosial, budaya, dan politik yang memaksa organisasi untuk terus-menerus
beradaptasi.