Rabu, 13 Mei 2015

Jangan Terlena dan Jangan Lengah

Semenjak berhasil menggondol piala dunia bulan Juli tahun lalu di Brasil, penampilan Jerman di babak penyisihan Piala Eropa 2016 belum meyakinkan. Setelah lebih dari delapan tahun Joachim Loew menangani tim nasional Jerman, baru kali ini tim Panser tidak mendominasi fase penyisihan grup untuk turnamen-turnamen besar. Sejak dimulainya babak penyisian Piala Eropa hingga akhir tahun 2014 lalu, Jerman hanya berada di urutan kedua Grup D, tiga angka di belakang Polandia dan sama dengan Skotlandia dan Irlandia. Jerman bahkan dikalahkan oleh Polandia dengan skor 2-1. Ini adalah kekalahan pertama Jerman dari negara tetangganya itu setelah 19 kali pertemuan. Jerman juga hanya mampu bermain imbang dengan Irlandia, sebelum berhasil menumbangkan Gibraltar, sebuah negara kecil di Eropa,  dengan skor 4-0. Lucunya, pelatih Gibraltar saat itu, Allen Bulla (kini telah dipecat), menyebut kekalahan ini sebagai “hasil yang hebat” lantaran timnya hanya kemasukan empat gol. Gibraltar kalah dengan skor yang lebih besar saat menghadapi Irlandia dan Polandia, masing-masing dengan skor 7-0.
Kabar baiknya, Jerman berhasil meraih kemenangan 2-0 atas Georgia dalam lanjutan penyisihan Piala Eropa 2016 pada bulan Maret lalu. Dengan kemenangan ini, Jerman hanya terpaut 1 poin dengan Polandia yang sedang memimpin klasemen setelah 5 pertandingan. Apakah Jerman akan kembali mendominasi penyisihan grup? Masih harus dibuktikan karena semua tim baru menyelesaikan kurang lebih setengah perjalanan.
Apakah Jerman belum lepas dari euforia setelah berhasil menjadi juara di Brasil, paling tidak hingga akhir tahun lalu? Jika demikian, tim panser dapat menjadi contoh tentang organisasi yang mengalami euforia setelah berhasil mengukir prestasi fenomenal, atau menyelesaikan proyek-proyek bernilai miliaran rupiah. Euforia ini bisa dialami baik oleh organisasi maupun individu.   Misalnya, seseorang begitu bergembira serta berpesta setelah sukses  menjadi juara dalam lomba tertentu atau berhasil  memenangkam kontrak yang menguntungkan baik bagi dirinya ataupun organisasi tempatnya bernaung.  Akibat tenggelam dalam perasaan gembira yang berlebihan ini, ia jadi enggan untuk melihat dan melangkah ke depan.  Seolah-olah ia lupa bahwa tugas-tugas dan tantangan-tantangan berikutnya telah menantinya di depan sana.  Akibatnya, saat memulai hal baru ia jadi kedodoran lantaran ia membuat persiapan secara seadanya.  Prestasinya, paling tidak pada masa awal mengerjakan tugas baru, tidak seperti yang diharapkan. 
Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, sinar kecemerlangan yang telah susah payah dipancarkan perlahan-lahan akan padam. Kepercayaan orang lain terhadap dirinya akan terkikis. Prestasi-prestasi yang telah dicapainya di masa lalu menjadi semakin tanpa makna.
Lantas bagaimana caranya agar kita tidak kehilangan semangat untuk berbuat yang terbaik pasca kesuksesan sebelumnya?Tentunya,  perlu ditanamkan kesadaran bahwa tantangan yang akan di hadapi di masa depan akan jauh lebih berat seiring dengan perubahan lingkungan. Sebagai contoh adalah bila kita memenangkan kejuaraan olahraga. Semua lawan yang kita kalahkan pasti ingin dapat “membalas dendam” atas kekalahannya.  Untuk itu, mereka berlatih lebih keras, melakukan persiapan yang lebih dini dan lebih baik, dan membenahi manajemen olahraga mereka.  Jika sang juara tidak melakukan terobosan, tidak mau berlatih lebih giat, dan masih bertahan dengan cara-cara lama, ia pasti akan tergilas di kejuaraan atau pertandingan-pertandingan berikutnya.  Dalam hal ini, prinsip “mempertahankan lebih sulit daripada merebut” menemukan relevansinya.
Tantangan yang lebih berat ini tentu tidak hanya berlaku dalam dunia olahraga. Dalam dunia bisnis misalnya, pesaing tidak tidur. Mereka akan berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menang. Jika lengah dan terlena, bersiap-siaplah untuk kalah dan merana. Belum lagi faktor-faktor perubahan lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang memaksa organisasi untuk terus-menerus beradaptasi.