Senin, 23 September 2013

Sama sekali tidak lucu

”Di usiaku saat ini... ee... ya twenty nine my age ya... tapi aku masih merindukan apresiasi karena basically aku seneng... seneng musik walaupun kontroversi hati. Aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih.”
”Nggak... kita... kita belajar apa ya... harmonisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Kupikir kita nggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan ya. Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga gitu, tapi menjadi confident, tapi kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik.”
Dua paragraf di atas adalah kata-kata yang diucapkan Vicky Prasetyo dalam wawancara yang disiarkan sebuah acara berita hiburan di televisi. Entah siapa orang ini. Yang jelas, ucapannya itu telah membuat banyak orang tertawa terpingkal-pingkal. Ia pun sontak menjadi bahan omongan selama berhari-hari.
Penulis telah melihat wawancara itu melalui Youtube dan termasuk orang yang sama sekali tidak tertawa saat mendengarnya. Mengapa? Karena memang sama sekali tidak lucu.  Silahkan bilang selera humor penulis rendah, penulis terlalu serius, dan sebagainya. Tanggapan penulis: si Vicky Prasetyo ini telah memberikan contoh yang sangat buruk. Penulis bahkan benci bila ada orang yang meniru-niru gaya bicara dan bahasanya.
Contoh buruk apa yang disajikan Vicky?Yang paling utama adalah dalam hal  berbahasa. Apa ide dan pesan yang  ingin disampaikan Vicky kepada pendengar? Agar penerima dapat memahami dengan tepat pesan yang ingin disampaikan, maka menurut Solihati dan Hikmat (2013: 44), pesan itu harus disampaikan dalam bentuk kalimat yang baik, ditandai dengan struktur yang benar, pilihan kata yang tepat, hubungan antarbagian yang logis, dan ejaan yang benar. Kesemua syarat itu tidak ditemukan dalam kalimat-kalimat yang diucapkan Vicky. Misalnya dalam struktur kalimat. Tidak jelas kata atau gabungan kata yang menjadi subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap kalimat. Jangan tanya soal pilihan kata. Apakah arti dari kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, statusisasi kemakmuran, dan juga labil ekonomi? Penggunaan kata ego dalam percakapan di atas juga salah. Seharusnya egois, bukan ego.
Ucapan Vicky Prasetyo, yang mencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, mencerminkan inferioritas berbahasa. Inilah contoh buruk berikutnya. Banyak orang lebih bangga menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, ketimbang bahasa Indonesia lantaran menganggap bahasa Inggris lebih keren dan lebih bergengsi. Bila ada orang yang bagus bahasa Inggrisnya, ia mendapat pujian. Namun jarang ada yang mengapresiasi bila seseorang dapat  berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.  Penyakit menganggap bahasa Inggris lebih keren dan lebih bergengsi ini telah menjangkiti banyak orang, termasuk mereka yang kemampuan bahasa Inggrisnya pas-pasan. Agar dianggap intelek, berlomba-lombalah mereka berbicara dalam bahasa Inggris meski tata bahasanya amburadul dan perbendaharaan katanya terbatas. Akibatnya, tidak jelaslah pesan yang ingin disampaikan. Jangan tanya apakah mereka pernah membuka kamus bahasa atau tidak. Bukankah minat baca rata-rata masyarakat kita masih rendah?
Apa yang diucapkan Vicky menjadi contoh kemalasan berbahasa. Artinya? Orang lebih senang menggunakan kata-kata dalam bahasa asing (baca: Inggris), padahal kata-kata itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, orang lebih senang menggunakan istilah website ketimbang laman, handphone ketimbang telepon genggam, update ketimbang memperbarui, workshop ketimbang sanggar kerja (barangkali bahkan tidak banyak yang pernah mendengar istilah ini),  dan code of conduct ketimbang kode tata berperilaku. Masih banyak lagi kata-kata lainnya. Dalam kasus Vicky, mengapa menggunakan kata basically  jika dapat diganti dengan pada dasarnya? Mengapa menggunakan kata confident jika dapat diganti dengan percaya?

Kata-kata Vicky bukanlah lelucon. Lelucon yang baik seharusnya membuat orang menjadi semakin cerdas. Sebuah lelucon tidak boleh membuat orang merasa terhibur dengan hal-hal yang jelas-jelas salah.