Senin, 23 Juni 2014

Juan Carlos, Beatrix, dan Albert II



Pada hari Senin, tanggal 2 Juni 2014, Raja Spanyol, Jual Carlos, mengumumkan akan menyerahkan takhtanya kepada putranya, Pangeran Felipe. Juan Carlos, yang kini berusia 76 tahun, naik takhta pada bulan November 1975. Menurut Perdana Menteri (PM) Spanyol, Mariano Rajoy, raja mundur karena alasan pribadi. Sejak beberapa bulan terakhir, raja mengalami masalah kesehatan.
Raja Juan Carlos sebenarnya sosok yang begitu dikasihi rakyatnya. Ia berhasil mengantarkan Spanyol memasuki era demokrasi pasca meninggalnya penguasa militer Francisco Franco. Namun beberapa tahun belakangan ini, popularitasnya merosot lantaran kasus korupsi yang menimpa putrinya, Cristina, dan menantunya, Inaki Urdangarin. Ia juga mendapat kritik tajam lantaran berfoto bersama gajah yang berhasil ia buru. Padahal Spanyol sedang dilanda krisis ekonomi yang parah. Saat ini dampak krisis masih terasa meski tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Akibat berburu gajah, organisasi konservasi kehidupan liar atau WWF memberhentikan Juan Carlos dari posisinya sebagai presiden kehormatan WWF.
Juan Carlos mengikuti jejak sejumlah raja di benua biru Eropa. Raja atau ratu yang telah berusia lanjut, umumnya lebih dari 70 tahun, memutuskan untuk turun takhta dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra mahkota.  Di Belanda, Ratu Beatrix yang telah bertakhta selama 30 tahun digantikan putranya, Wilem-Alexander pada tahun 2013. Ia menjadi raja pertama Belanda sejak kakek buyutnya meninggal dunia tahun 1890.  Selama kurang lebih 123 tahun, negeri Belanda dikepalai oleh 3 orang ratu.
Di Belgia, Philippe menggantikan ayahnya, Raja Albert II, sejak bulan Juli 2013. Albert II, yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun, mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Ia mengundurkan diri dalam usia kurang lebih 79 tahun.
Terkait dengan penyerahan takhta ini, ada satu komentar menarik dari Juan Carlos. Menurutnya, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Felipe agar putranya itu tidak harus menunggu lama seperti Pangeran Charles dari Inggris. Charles, yang hampir berusia 66 tahun, saat ini tercatat sebagai putra mahkota tertua sepanjang sejarah Kerajaan Inggris. Ia memecahkan rekor William IV, yang menjadi raja pada tahun 1830 dalam usia 64 rahun, 10 bulan, dan 5  hari.  Pangeran Charles juga tercatat sebagai putra mahkota terlama. Ia  menjadi putra mahkota  pada usia tiga tahun, saat ibunya, Ratu Elizabeth II, mulai bertakhta pada tahun 1952.
Menanggapi hal ini, pakar sejarah kerajaan Inggris, Hugo Vickers, mengatakan bahwa kecil kemungkinan Ratu Elizabeth II akan menyerahkan takhtanya dalam waktu dekat. Pasalnya, tidak seperti Juan Carlos yang  popularitasnya merosot dan kondisi kesehatannya menurun, Ratu Elizabth II masih tetap populer dan bugar. Entah kapan Charles akan menjadi raja.
Apa yang dilakukan oleh Raja Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II patut diteladani. Meski posisi mereka kebanyakan bersifat seremonial, raja dan ratu itu telah membuktikan diri mereka layak menjadi figur panutan. Mereka membimbing rakyatnya menghadapi masa-masa sulit dan memotivasi mereka umtuk kemajuan bangsa.  Mereka juga telah mendidik dan mempersiapkan calon pengganti mereka sehingga siap untuk berkiprah.  Saat merasa calon pengganti mereka sudah siap tampil, mereka dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya.
Keteladanan di tingkat nasional ini sejatinya  dapat menginspirasi para pemimpin senior di organisasi-organisasi lain, semisal perusahaan dan organisasi nirlaba. Sayangnya, tidak semua pemimpin mau bertindak sebijaksana Raja Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II. Meski telah belasan, bahkan puluhan tahun berkuasa, mereka tetap enggan untuk mundur Berbagai dalih dikemukakan sebagai justifikasi. Mulai dari pengikut  yang masih menghendaki dirinya berkuasa, masih butuh waktu untuk mewujudkan cita-citanya, takut organisasi tercerai berai karena pengikut masih perlu waktu untuk belajar, dan sebagainya.  Alasan-alasan di atas sejatinya hanyalah kedok untuk menutupi ketakutan sang pemimpin senior akan kehilangan kekuasaan dan pengaruh, yang identik dengan prestise dan materi.
Banyak pemimpin yang di masa-masa awal kekuasaanya mampu menorehkan prestasi-prestasi gemilang. Namun karena terlalu lama duduk di singgasana, mereka cenderung tidak peka terhadap perubahan. Karena terbiasa dengan pujian, ia menjadi tidak tahan kritik serta menganggap para pengkritiknya sebagai ancaman yang harus dilibas.  
Oleh karenanya, seorang pemimpin harus sadar bahwa ia tidak mungkin memimpin selamanya. Mekanisme untuk memilih pengganti harus disiapkan sejak dini, termasuk waktu untuk melakukan pergantian. Masa terbaik untuk melakukannya adalah saat pemimpin sedang jaya.
Sedihnya, tidak banyak pemimpin yang mau berpikir untuk mundur saat berada di puncak. Padahal dengan melakukan hal ini, ia mundur dengan terhormat. Wibawanya masih kuat, pemikirannya masih didengar.