Pada
hari Senin, tanggal 2 Juni 2014, Raja Spanyol, Jual Carlos, mengumumkan akan
menyerahkan takhtanya kepada putranya, Pangeran Felipe. Juan Carlos, yang kini
berusia 76 tahun, naik takhta pada bulan November 1975. Menurut Perdana Menteri
(PM) Spanyol, Mariano Rajoy, raja mundur karena alasan pribadi. Sejak beberapa
bulan terakhir, raja mengalami masalah kesehatan.
Raja
Juan Carlos sebenarnya sosok yang begitu dikasihi rakyatnya. Ia berhasil
mengantarkan Spanyol memasuki era demokrasi pasca meninggalnya penguasa militer
Francisco Franco. Namun beberapa tahun belakangan ini, popularitasnya merosot
lantaran kasus korupsi yang menimpa putrinya, Cristina, dan menantunya, Inaki
Urdangarin. Ia juga mendapat kritik tajam lantaran berfoto bersama gajah yang
berhasil ia buru. Padahal Spanyol sedang dilanda krisis ekonomi yang parah.
Saat ini dampak krisis masih terasa meski tidak separah tahun-tahun sebelumnya.
Akibat berburu gajah, organisasi konservasi kehidupan liar atau WWF
memberhentikan Juan Carlos dari posisinya sebagai presiden kehormatan WWF.
Juan
Carlos mengikuti jejak sejumlah raja di benua biru Eropa. Raja atau ratu yang
telah berusia lanjut, umumnya lebih dari 70 tahun, memutuskan untuk turun
takhta dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra mahkota. Di Belanda, Ratu Beatrix yang telah bertakhta
selama 30 tahun digantikan putranya, Wilem-Alexander pada tahun 2013. Ia
menjadi raja pertama Belanda sejak kakek buyutnya meninggal dunia tahun 1890. Selama kurang lebih 123 tahun, negeri Belanda
dikepalai oleh 3 orang ratu.
Di
Belgia, Philippe menggantikan ayahnya, Raja Albert II, sejak bulan Juli 2013.
Albert II, yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun, mengundurkan diri karena
alasan kesehatan. Ia mengundurkan diri dalam usia kurang lebih 79 tahun.
Terkait
dengan penyerahan takhta ini, ada satu komentar menarik dari Juan Carlos.
Menurutnya, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Felipe agar putranya itu tidak
harus menunggu lama seperti Pangeran Charles dari Inggris. Charles, yang hampir
berusia 66 tahun, saat ini tercatat sebagai putra mahkota tertua sepanjang
sejarah Kerajaan Inggris. Ia memecahkan rekor William IV, yang menjadi raja pada
tahun 1830 dalam usia 64 rahun, 10 bulan, dan 5
hari. Pangeran Charles juga
tercatat sebagai putra mahkota terlama. Ia
menjadi putra mahkota pada usia tiga
tahun, saat ibunya, Ratu Elizabeth II, mulai bertakhta pada tahun 1952.
Menanggapi
hal ini, pakar sejarah kerajaan Inggris, Hugo Vickers, mengatakan bahwa kecil
kemungkinan Ratu Elizabeth II akan menyerahkan takhtanya dalam waktu dekat.
Pasalnya, tidak seperti Juan Carlos yang popularitasnya merosot dan kondisi
kesehatannya menurun, Ratu Elizabth II masih tetap populer dan bugar. Entah
kapan Charles akan menjadi raja.
Apa
yang dilakukan oleh Raja Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II patut
diteladani. Meski posisi mereka kebanyakan bersifat seremonial, raja dan ratu
itu telah membuktikan diri mereka layak menjadi figur panutan. Mereka
membimbing rakyatnya menghadapi masa-masa sulit dan memotivasi mereka umtuk
kemajuan bangsa. Mereka juga telah
mendidik dan mempersiapkan calon pengganti mereka sehingga siap untuk berkiprah. Saat merasa calon pengganti mereka sudah siap
tampil, mereka dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya.
Keteladanan
di tingkat nasional ini sejatinya dapat
menginspirasi para pemimpin senior di organisasi-organisasi lain, semisal
perusahaan dan organisasi nirlaba. Sayangnya, tidak semua pemimpin mau bertindak sebijaksana Raja
Juan Carlos, Ratu Beatrix, dan Raja Albert II. Meski telah belasan, bahkan
puluhan tahun berkuasa, mereka tetap enggan untuk mundur Berbagai dalih
dikemukakan sebagai justifikasi. Mulai dari pengikut yang masih menghendaki dirinya berkuasa,
masih butuh waktu untuk mewujudkan cita-citanya, takut organisasi tercerai
berai karena pengikut masih perlu waktu untuk belajar, dan sebagainya. Alasan-alasan di atas sejatinya hanyalah
kedok untuk menutupi ketakutan sang pemimpin senior akan kehilangan kekuasaan
dan pengaruh, yang identik dengan prestise dan materi.
Banyak pemimpin yang di masa-masa awal kekuasaanya
mampu menorehkan prestasi-prestasi gemilang. Namun karena terlalu lama duduk di
singgasana, mereka cenderung tidak peka terhadap perubahan. Karena terbiasa
dengan pujian, ia menjadi tidak tahan kritik serta menganggap para
pengkritiknya sebagai ancaman yang harus dilibas.
Oleh karenanya, seorang pemimpin harus sadar bahwa ia
tidak mungkin memimpin selamanya. Mekanisme untuk memilih pengganti harus
disiapkan sejak dini, termasuk waktu untuk melakukan pergantian. Masa terbaik
untuk melakukannya adalah saat pemimpin sedang jaya.
Sedihnya, tidak banyak pemimpin yang mau berpikir untuk
mundur saat berada di puncak. Padahal dengan melakukan hal ini, ia mundur
dengan terhormat. Wibawanya masih kuat, pemikirannya masih didengar.