Minggu, 25 Agustus 2013

Ayo Nikmati Kemacetan

Saat  tulisan ini dibuat, liburan hari raya Idul fitri telah berakhir. Para pemudik telah kembali dari kampung halaman mereka.  Aktivitas kerja dan sekolah dimulai kembali.  Hal ini berarti situasi lalu lintas di Jakarta kembali normal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), normal berarti menurut pola yang umum, sesuai dengan keadaan yang biasa. Kita pasti sama-sama maklum, situasi lalu lintas di Jakarta identik dengan kemacetan, terutama saat orang beramai-ramai berangkat dan pulang ke dan dari tempat beraktivitas. Jadi kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah sesuatu yang normal, terlepas suka atau tidak suka. Kalau lalu lintas di Jakarta tidak macet, berarti ibu kota negara tercinta ini tidak normal.
Masalah kemacetan di Jakarta memang kronis. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari tidak seimbangnya pertumbuhan panjang jalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan, buruknya kondisi transportasi umum sehingga orang lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, rendahnya disiplin berlalu lintas pengguna jalan, hingga kurangnya penegakan hukum terhadap para pelanggar peraturan lalu lintas.
Berdasarkan hasil penelitian Study on Integrated Transportarion Master Plan II 2004, kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan di Jakarta berjumlah lebih kurang 12,8 Triliun Rupiah. Menurut perkiraan Direktur Utama PT MRT Jakarta Dono Boestami,  bila sistem transportasi tidak diperbaiki, pada tahun 2020, kerugian akibat kemacetan dapat melonjak hingga 65 Triliun Rupiah.  Belum lagi kerugian dari sisi non keuangan, semisal dari sisi psikologis. Kemacetan tentu menimbulkan stres. Waktu pun banyak yang terbuang sia-sia.
Tulisan ini tidak akan mengulas tentang bagaimana mengatasi kemacetan. Sudah terlalu banyak pakar yang membahasnya. Tulisan ini akan mengulas masalah kemacetan ditinjau dari sisi masyarakat awam pengguna jalan. Kita memang acap tidak bisa menghindari kemacetan. Namun ketimbang hanya mengomel dan mengeluh, ada baiknya kita ingat sebuah ungkapan: ketimbang hanya mengutuki kegelapan, lebih baik kita mulai menyalakan lilin sehingga ada seberkas cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar.  Ketimbang marah-marah karena macet, ada baiknya kita memikirkan apa yang dapat kita lakukan tatkala terjebak kemacetan.
Bagi pengemudi kendaraan, barangkali tidak banyak yang bisa dilakukan lantaran harus berkonsentrasi mengamati lalu lintas. Yang paling mungkin dilakukan adalah mendengarkan radio.  Di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), siaran radio tidak pernah mati. Agaknya, hal ini lantaran orang dapat mendengarkan siaran radio sambil lalu. Berbeda halnya dengan membaca surat kabar, menonton televisi, atau mengamati layar komputer yang harus dilakukan dengan lebih fokus.
Bagi para penumpang kendaraan, baik umum maupun pribadi, membaca buku, koran, atau majalah adalah salah satu kegiatan yang dapat dilakukan di tengah-tengah kemacetan. Hal ini agaknya perlu digalakkan mengingat masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
Seiring maraknya laman-laman jejaring sosial, banyak penumpang kendaraan yang memperbarui statusnya saat terjebak kemacetan. Hal ini tidak mengherankan mengingat Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia.
Mengamati lingkungan sekitar tatkala terjebak kemacetan sungguh bermanfaat. Banyak hal yang bisa dijadikan objek pengamatan, semisal perilaku pengguna kendaraan dan/atau pejalan kaki di tengah-tengah kemacetan, perilaku para pedagang asongan atau yang berjualan di pinggir jalan, atau bangunan-bangunan di sepanjang jalan.  Hasil pengamatan ini dapat kita jadikan pelajaran.
Bagi yang kelelahan selepas menjalankan aktivitas sepanjang hari, tidur barangkali bisa menjadi pilihan di tengah-tengah kemacetan. Namun bagi pengguna kendaraan umum seperti bus atau kereta api (KA), waspadalah. Jangan sampai barang-barang berharga dicuri orang tatkala kita sedang lelap tertidur.
Selalu ada kemudahan di balik setiap kesulitan, termasuk saat kita terjebak dalam kemacetan. Banyak hal-hal positif yang bisa dilakukan. Hal-hal yang disebutkan di atas hanyalah beberapa diantaranya. Yang terpenting, jangan tergoda untuk melanggar norma-norma yang berlaku. 

Rabu, 07 Agustus 2013

Merengek-rengek

Beberapa hari lalu, seorang rekan penulis mengemukakan pendapatnya di jejaring sosial Facebook tentang puasa. Menurutnya, kita hendaknya tidak memaksa orang yang tidak berpuasa untuk menghormati orang yang berpuasa. Justru dengan berpuasa kita berlatih menghadapi orang-orang yang tidak berpuasa itu. Lantas bagaimana jika orang yang berpuasa itu hidup di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas tidak berpuasa lantaran berbeda keyakinan? Apakah kita akan menganggap mereka tidak menghormati kita?
Setelah membaca status teman itu, penulis merasa terinspirasi untuk berbagi pengalaman pribadi penulis yang berkesan tentang puasa. Pengalaman pertama yang ingin penulis bagi terjadi beberapa tahun lalu. Saat itu Jakarta baru saja diguncang gempa dan penulis masih berada di tempat kerja, tepatnya di sebuah gedung di kawasan Sudirman. Khawatir terjadi gempa susulan, penulis pergi keluar gedung bersama rekan-rekan yang lain. Setelah mengobrol sebentar, salah seorang rekan mengajak kami untuk duduk-duduk di tenda penjual aneka makanan di depan gedung. Penulis menerima ajakan itu. Namun karena saat itu bulan Puasa, penulis tidak memesan makanan dan minuman apapun. Sedangkan rekan-rekan penulis yang non muslim tetap memesan makanan atau minuman. Seraya menikmati minuman, salah seorang dari mereka berkata, “Maaf ya, Har!” “Ah tidak apa-apa.”, sahut penulis singkat. Segera penulis mengalihkan topik pembicaraan.
Bagaimana perasaan penulis saat itu? Marahkah? Atau mungkin tergiur untuk ikut memesan makanan atau minuman? Sama sekali tidak. Sebaliknya, penulis justru merasa bangga. Bangga lantaran agama penulis mensyariatkan ajaran puasa yang begitu indah, yang manfaatnya bagi kesehatan fisik dan mental sungguh luar biasa. Meski harus menahan lapar dan haus selama lebih kurang 13 jam, namun dijamin tidak mengganggu mekanisme bekerjanya tubuh. Apatah lagi bila puasa ini didorong oleh niat yang tulus. Inilah bukti keagungan Yang Maha Kuasa.  Seorang ustaz pernah mengatakan di dunia ini banyak orang yang mati kelaparan, namun belum pernah ada orang yang mati karena puasa.
Pengalaman berikutnya terjadi pada bulan Puasa tahun 1434 H ini. Beberapa hari lalu, beberapa rekan penulis mengatakan bahwa mereka sedang tidak berpuasa. Padahal penulis tahu mereka sedang tidak berhalangan. Mirisnya, mereka melakukannya seolah-olah tanpa rasa bersalah sedikitpun dan menggoda-goda orang lain, termasuk penulis. Salah seorang dari mereka berkata. “Sabar ya, Har!”. Syukurlah hati penulis tidak tergoda. Penulis hanya menggumam. Dalam hati penulis merasa kasihan dengan mereka. Apatah lagi ada di antara mereka yang telah memiliki anak. Bagaimana jika anak-anak melihat orang tua mereka tidak berpuasa dengan alasan yang tidak benar? Lucunya lagi, ada yang mengatakan bahwa suaminya tidak tahu bahwa dirinya tidak berpuasa. Penulis hanya berdoa semoga mereka segera sadar.
Di samping kedua pengalaman di atas, penulis mendapat informasi dari berbagai sumber tentang lamanya waktu berpuasa  tahun ini bagi orang-orang Muslim yang tinggal di wilayah Timur Tengah dan Eropa. Sebagai contoh, di Mesir kaum Muslim harus berpuasa sekitar 16 jam. Di Eropa bahkan lebih lama. Di Inggris dan Belanda, misalnya, kaum Muslim harus berpuasa selama 17-18 jam. Perbedaan durasi berpuasa ini lantaran tidak lurusnya perputaran bumi mengelilingi matahari. Meski demikian, panjangnya waktu berpuasa ini sama sekali tidak mematahkan semangat kaum Muslim untuk menjalankan rukun Islam keempat itu. Bahkan ada atlet-atlet Muslim di Eropa yang tetap bertekad menjalankan ibadah puasa meski sudah ada fatwa yang membolehkan mereka untuk tidak melakukannya.
Berdasarkan pengalaman dan informasi itu, penulis semakin yakin bahwa ibadah puasa sangat erat kaitannya dengan iman. Iman artinya keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. Juga berarti ketetapan hati. Semakin kuat iman seseorang, semakin sulit ia tergoda untuk tidak menjalankan perintah Tuhan. Ia tak peduli ada tidaknya himbauan untuk menghormati orang yang berpuasa. Meski ada gembar-gembor untuk menghormati orang berpuasa, namun orang yang kurang kuat imannya tetap saja mudah tergelincir. Jadi masih perlukah kita yang berpuasa merengek-rengek minta dihormati?