Kurang
lebih 1 minggu yang lalu, dalam perjalanan menuju tempat kerja penulis bertemu dengan seorang teman di dalam Bus
Transjakarta. Kebetulan, ia bekerja di gedung yang sama dengan penulis. Maka
kami turun dari bus dan berjalan bersama-sama menuju gedung tempat kami
bekerja. Dalam perjalanan, ia membeli 2
bungkus tisu dari seorang pedagang tisu yang berjualan di pinggir jalan. Tak dinyana, ia memberikan 1 bungkus tisu
yang yang baru ia beli kepada penulis. Ia lalu berkata bahwa ia sebenarnya
tidak membutuhkan tisu. Ia hanya ingin menghargai jerih payah sang penjual
tisu.
Penulis
tentu menghargai kebaikan hati teman penulis itu. Namun bagi pedagang asongan
seperti sang penjual tisu, akan lebih baik jika dalam menjalankan aktivitasnya
mendapat jaminan perlindungan secara resmi dari pemerintah. Sebab tanpa jaminan
perlindungan, posisi sang penjual tisu sangatlah rentan. Rentan terhadap penggusuran,
rentan jatuh miskin secara mendadak akibat kecelakaan lantaran tidak memiliki
jaminan asuransi kesehatan. Mereka juga tidak memiliki sistem dan struktur bisnis. Peluang mereka untuk berkembang juga amat terbatas.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kesuksesan penjual tisu praktis
tidak akan berdampak apapun bagi pendapatan nasional karena tidak ada pajak
yang dibayarkan.
Dalam
istilah ekonomi, sang penjual tisu berada dalam sektor ekonomi informal. Di
negeri ini, begitu banyak orang-orang yang bernasib seperti dirinya. Termasuk
diantaranya penjual makanan di pinggir dan di tengah jalan (saat lalu lintas
berhenti), penjual pulsa telepon
genggam, penawar jasa pembersih kaca jendela
mobil di tengah-tengah kemacetan, dan sebagainya. Juga para penjahit pakaian berskala
kecil (yang biasanya melakukan pekerjaannya di rumah), Rata-rata dari mereka umumnya berpendidikan rendah,
tidak sampai mencicipi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan banyak diantaranya
tang tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Perlu dicatat,
mereka bukanlah pelaku tindakan kriminal meski tidak tercatat secara resmi. Biasanya orang-orang bekerja di sektor informal karena
terpaksa demi mempertahankan hidup. Bagi pelaku sektor informal, lolos dari
kewajiban membayar pajak menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi bila mereka
pintar berlindung di balik rasa belas kasihan masyarakat.
Apa yang melatarbelakangi tumbuhnya sektor informal?Yang
utama adalah pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang pesat tanpa diimbangi oleh
ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Pesatnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja
merupakan hasil dari lajunya pertumbuhan penduduk. Selama satu dekade terakhir, menurut Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tingkat fertilitas penduduk Indonesia mencapai 2,4. Pada tahun 2035,
jumlah penduduk Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan mencapai 305 juta jiwa. Tanpa
pertumbuhan sektor formal yang signifikan, jumlah tenaga kerja yang akan
memasuki sektor informal bakal semakin bertambah.
Penyebab berikutnya tumbuh pesatnya sektor informal
adalah sulitnya memasuki sektor formal. Salah satunya lantaran rendahnya kualitas
rata-rata tenaga kerja sehingga sektor formal enggan merekrut mereka. Hal ini
mengindikasikan adanya masalah dalam bidang pendidikan sehingga tidak mampu
memasok tenaga-tenaga kerja yang terampil.
Penyebab lainnya adalah apa yang dalam ilmu ekonomi
disebut fleksibilitas dan efisiensi pasar tenaga kerja (labor market flexibility and efficiency). Pasar tenaga kerja
haruslah efisien sehingga tenaga kerja dapat dengan mudah berpindah dari satu
sektor ekonomi ke sektor ekonomi lainnya dengan biaya rendah. Sedangkan pasar
tenaga kerja yang efisien harus menjamin insentif bagi pekerja serta
terciptanya meritokrasi. Merujuk kepada Global
Competitiveness Report 2013-2014 yang diterbitkan World Economic Forum (WEF), kakunya pasar tenaga kerja menjadi
salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dalam usaha meningkatkan
daya saing.
Keberadaan sektor informal wajib dikikis agar
pendapatan pemerintah bertambah dan rakyat mendapat perlindungan dalam mencari
nafkah.