Jumat, 28 Februari 2014

Si Penjual Tisu

Kurang lebih 1 minggu yang lalu, dalam perjalanan menuju tempat kerja penulis  bertemu dengan seorang teman di dalam Bus Transjakarta. Kebetulan, ia bekerja di gedung yang sama dengan penulis. Maka kami turun dari bus dan berjalan bersama-sama menuju gedung tempat kami bekerja. Dalam perjalanan, ia membeli  2 bungkus tisu dari seorang pedagang tisu yang berjualan di pinggir jalan.  Tak dinyana, ia memberikan 1 bungkus tisu yang yang baru ia beli kepada penulis. Ia lalu berkata bahwa ia sebenarnya tidak membutuhkan tisu. Ia hanya ingin menghargai jerih payah sang penjual tisu.
Penulis tentu menghargai kebaikan hati teman penulis itu. Namun bagi pedagang asongan seperti sang penjual tisu, akan lebih baik jika dalam menjalankan aktivitasnya mendapat jaminan perlindungan secara resmi dari pemerintah. Sebab tanpa jaminan perlindungan, posisi sang penjual tisu sangatlah rentan. Rentan terhadap penggusuran, rentan jatuh miskin secara mendadak akibat kecelakaan lantaran tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan. Mereka juga tidak memiliki sistem dan struktur bisnis. Peluang mereka untuk berkembang juga amat terbatas. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kesuksesan penjual tisu praktis tidak akan berdampak apapun bagi pendapatan nasional karena tidak ada pajak yang dibayarkan.
Dalam istilah ekonomi, sang penjual tisu berada dalam sektor ekonomi informal. Di negeri ini, begitu banyak orang-orang yang bernasib seperti dirinya. Termasuk diantaranya penjual makanan di pinggir dan di tengah jalan (saat lalu lintas berhenti), penjual pulsa telepon genggam, penawar jasa pembersih kaca jendela mobil di tengah-tengah kemacetan, dan sebagainya. Juga para penjahit pakaian berskala kecil (yang biasanya melakukan pekerjaannya di rumah), Rata-rata dari mereka umumnya berpendidikan rendah, tidak sampai mencicipi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan banyak diantaranya tang tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Perlu dicatat, mereka bukanlah pelaku tindakan kriminal meski tidak tercatat secara resmi. Biasanya orang-orang bekerja di sektor informal karena terpaksa demi mempertahankan hidup. Bagi pelaku sektor informal, lolos dari kewajiban membayar pajak menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi bila mereka pintar berlindung di balik rasa belas kasihan masyarakat.
Apa yang melatarbelakangi tumbuhnya sektor informal?Yang utama adalah pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang pesat tanpa diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Pesatnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja merupakan hasil dari lajunya pertumbuhan penduduk. Selama satu dekade  terakhir, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tingkat fertilitas penduduk Indonesia mencapai 2,4. Pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS),  diperkirakan mencapai 305 juta jiwa. Tanpa pertumbuhan sektor formal yang signifikan, jumlah tenaga kerja yang akan memasuki sektor informal bakal semakin bertambah.
Penyebab berikutnya tumbuh pesatnya sektor informal adalah sulitnya memasuki sektor formal. Salah satunya lantaran rendahnya kualitas rata-rata tenaga kerja sehingga sektor formal enggan merekrut mereka. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam bidang pendidikan sehingga tidak mampu memasok tenaga-tenaga kerja yang terampil.
Penyebab lainnya adalah apa yang dalam ilmu ekonomi disebut fleksibilitas dan efisiensi pasar tenaga kerja (labor market flexibility and efficiency). Pasar tenaga kerja haruslah efisien sehingga tenaga kerja dapat dengan mudah berpindah dari satu sektor ekonomi ke sektor ekonomi lainnya dengan biaya rendah. Sedangkan pasar tenaga kerja yang efisien harus menjamin insentif bagi pekerja serta terciptanya meritokrasi. Merujuk kepada Global Competitiveness Report 2013-2014 yang diterbitkan World Economic Forum (WEF), kakunya pasar tenaga kerja menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dalam usaha meningkatkan daya saing.
Keberadaan sektor informal wajib dikikis agar pendapatan pemerintah bertambah dan rakyat mendapat perlindungan dalam mencari nafkah.