Minggu, 30 Desember 2012

Makin Kaya Makin Bahagia?



Apa yang membuat hidup seseorang bahagia? Jawabanya tentu bisa bermacam-macam. Namun penulis tidak akan membahas hal ini. Maklum, penulis bukanlah seorang psikolog atau motivator. Meski demikian, penulis  tertarik dengan sebuah artikel yang penulis baca belum lama ini.
Artikel tersebut mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gallop, yang mengukur emosi positif 1000 orang di 148 negara. Dalam penelitian itu, Gallop mengajukan lima pertanyaan: Apakah anda merasakan kesenangan?Apakah anda merasa dihormati? Apakah anda dapat beristirahat dengan baik? Apakah anda banyak tertawa dan tersenyum? Dan Apakah anda belajar sesuatu yang baru dan menarik?
Dari penelitian tersebut terungkap bahwa ternyata yang paling berbahagia bukanlah orang  Qatar, negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia. Bukan pula Jepang, negara dengan tingkat harapan hidup tertinggi di dunia. Bukan pula Kanada, negara dengan persentase orang yang lulus kuliah tertinggi di dunia. Negara yang penduduknya paling berbahagia, menurut penelitian Gallup itu, adalah Panama, sebuah negara di kawasan Amerika Tengah. Yang lebih menarik lagi, tujuh dari sepuluh negara yang penduduknya paling berbahagia di dunia berasal dari Amerika Latin. Negara-negara itu adalah Panama (peringkat 1), Paraguay (2), El Salvador (3), Venezuela  (4), Guatemala (7), Ekuador (9), dan Kosta Rika (10). Indonesia sendiri perada di peringkat 19, relatif cukup baik.
Yang mengejutkan, Singapura justru berada di peringkat paling bawah. Padahal dari sisi PDB perkapita, negara ini termasuk yang tertinggi di dunia. Dalam hal Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), posisi Singapura jelas jauh di atas negara-negara Amerika Latin. Kemudian, siapa yang tidak kenal Singapura sebagai pusat keuangan di Asia Pasifik, yang negaranya serba tertib dan teratur, yang bersih dari korupsi, yang murid-murid sekolahnya menjadi salah satu yang paling unggul dalam pelajaran matematika dan sains, yang kualitas pendidikan tingginya sudah berkelas  dunia?
Lantas mengapa Singapura menjadi negara dengan tingkat emosi positif terendah di dunia? Bagi yang mengenal negeri Singa itu lebih dalam, sebenarnya hasil penelitian Gallup ini tidak terlalu mengejutkan. Di sana, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (work life balanced) sangat minim. Segala sesuatu, termasuk prestasi, diukur berdasarkan apa yang dapat dihasilkan secara kuantitatif, termasuk dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bila tidak sanggup memenuhi,  seseorang dianggap sebagai manusia gagal, meski sebenarnya ia mampu menghasilkan karya-karya seni yang monumental. Bila gagal, terpuruklah hidupnya. Jangan mengharap bantuan orang lain karena mereka sibuk dengan urusannya sendiri, termasuk sibuk bersaing. Angka bunuh diri di Singapura tergolong tinggi.
Di Singapura, segala sesuatu ada prosedur yang harus diikuti, termasuk hal-hal yang remeh. Di satu sisi, hal ini memang baik karena menjadikan hidup lebih teratur.  Namun di sisi lain, kelemahannya adalah mengabaikan kemungkinan terjadinya hal-hal di luar dugaan.
Dalam hal kebebasan berekspresi, Singapura jelas kalah jauh dibanding Indonesia. Maka, jangan berharap Singapura akan melahirkan seniman-seniman dan penulis besar yang berasal dari luar pemerintahan.
Sekarang, mari kita lihat Panama, negara yang mendapat peingkat tertinggi. Carlos Martinez, seorang warga Panama, mengatakan bahwa ia tidak senang dengan meningkatnya tingkat kriminalitas di negaranya. Meski demikian, ia senang dengan keluarganya. Menurutnya, Panama adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam.  Rakyatnya senang merayakan segala sesuatu, dan berusaha menjalani hidup sebaik mungkin. Di Paraguay, yang mendapat peringkat tertinggi kedua, Maria Solis, seorang pedagang, mengatakan bahwa kesulitan ekonomi bukan alasan untuk bersedih. Orang kayapun akan dililit oleh masalah. Kita harus mentertawakan diri sendiri.
Apakah ini berarti ukuran-ukuran tradisional seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, dan HDI tidak relevan lagi dipertahankan?Tentu tidak demikian. Penelitian Gallop di atas sama sekali tidak boleh dijadikan pembenaran untuk hanya pasrah menerima nasib.  Wajib hukumnya kita bekerja keras mencari kekayaan (tentu dengan cara yang halal); mengembangkan kreativitas dan inovasi; membangun tempat tinggal yang layak huni dan nyaman; meningkatkan produksi dan  ketahanan pangan; membangun infrastruktur, meningkatkan kesehatan,  dan berperilaku etis. Dengan melakukan itu semua, manusia telah berusaha mengoptimalkan potensinya. Kehidupanpun menjadi lebih baik. Namun hendaknya kita TIDAK HANYA terpaku pada ukuran-ukuran tradisional, karena akan membuat kehidupan menjadi hambar, bahkan kehilangan makna.

Selasa, 18 Desember 2012

Makin tua makin tak laku?



Minggu siang, dalam sebuah acara  pertemuan keluarga. Penulis bertemu dengan salah seorang sepupu. Ia telah bekerja di sebuah perusahaan  jasa keuangan selama lebih kurang 10 tahun.  Saat penulis tanya mengapa tidak mencoba melamar ke perusahaan lain, ia menjawab, “Umur saya semakin tua, jadi makin sulit diterima di perusahaan lain”.
Beberapa bulan sebelumnya, penulis bertemu dengan seorang teman lama. Ia pernah mengenyam pendidikan dan bekerja di Amerika Serikat (AS).  Penulis bertanya padanya apakah dalam merekrut karywan perusahaan-perusahaan di AS mempertimbangkan faktor usia.  Sang teman berkata, “Tidak. Bahkan sering dijumpai karyawan bagian pelayanan pelanggan yang telah berumur dan berpenampilan “tidak menarik” menurut ukuran orang Indonesia.  Toh mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik”.
Diskriminasi usia masih jamak dijumpai dalam iklan-iklan lowongan kerja di Indonesia. Persyaratan  semisal  “Pria/Wanta, umur max. 30 tahun” sering kali dicantumkan.  Padahal di negara-negara maju  semisal Australia, AS, Inggris, dan Perancis, praktek semacam ini telah dilarang.  Meski dalam prakteknya diskriminasi usia barangkali masih terjadi secara terselubung, paling tidak negara-negara itu berusaha menghilangkannya. Hal ini tidak terjadi di Indonesia.
Mengapa banyak perusahaan di Indonesia enggan menerima karyawan yang sudah berumur? Hal ini karena adanya anggapan bahwa semakin tua seseorang, semakin menurun kesehatannya; semakin sulit berubah dan sulit menerima konsep-konsep baru; dan semakin sulit dikembangkan.
Namun benarkah anggapan-anggapan itu?Bila jawabannya semata-mata “ya”, berarti kita telah melakukan generalisasi secara gegabah. Banyak orang yang meski sudah berumur, namun kondisi kesehatannya lebih baik dari orang-orang yang lebih muda. Mereka tak jarang  mempunyai ide-ide segar. Merekapun belum tentu lebih sulit dikembangkan. Dengan pengalaman yang dimiliki, karyawan yang telah berumur dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda. Yang terakhir ini dialami oleh seorang rekan penulis yang bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Memang ada posisi-posisi tertentu yang mensyaratkan kesehatan fisik yang prima. Dalam hal ini, hukum alam memang tak bisa dilawan. Orang-orang muda lebih kuat ketimbang orang-orang yang telah berumur. Namun sekali lagi bukan berarti semakin bertambahnya usia, peluang untuk seluruh posisi pekerjaan menjadi tertutup.
Bagi para pekerja yang sudah berumur, bagaimana seharusnya menyikapi fenomena ini? Hanya mengeluh tentu bukan solusi. Demikian pula halnya bila hanya menunggu pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang diskriminasi usia. Apatah lagi kita tentu maklum dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Ada beberapa  hal yang bisa dilakukan. Pertama, ketahuilah bahwa ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak mengenal batasan umur, semisal pengajar, pemulis, agen asuransi, wirausaha, dan penterjemah. Kita dapat mempertimbangkan profesi-profesi ini. Kedua, rajin-rajinlah memperluas jejaring (network). Seringkali informasi-informasi kerja diperoleh dari jejaring. Ingatlah bahwa jumlah lowongan yang tidak diiklankan di media lebih banyak ketimbang jumlah lowongan yang diiklankan di media.  Keuntungan dari jejaring adalah mereka kadang-kadang dapat menjadi referensi yang andal dan lebih dipercaya oleh perusahaan tempat kita melamar. Ketiga, berfokuslah pada pengalaman. Ceritakanlah pengalaman-pengalaman yang kira-kira relevan dengan pekerjaan yang akan ditekuni.  Keempat, janganlah menetapkan ekspektasi yang terlalu tinggi soal gaji. Fokuslah pada kinerja terlebih dahulu. Ingatlah bahwa kepercayaan tidak bisa diminta, melainkan harus diusahakan.  Kelima, kuasailah teknologi yang dapat membuat pekerjaan lebih efisien dan efektif. Hal ini untuk menepis anggapan bahwa  orang-orang yang sudah berumur cenderung malas mempelajari teknologi baru. Dan keenam, berusahalah semaksimal mungkin menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan.

Minggu, 02 Desember 2012

HBM dan Karakter



Hujan, banjir dan macet (HBM). Itulah yang penulis alami selama 5 hari berturut-turut beberapa minggu lalu, Senin hingga Jum’at, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja. Penulis tentu tidak sendiri.  Ada banyak orang yang juga mengalaminya. Akibatnya tentu kita semua tahu.  Bukan hanya rugi waktu (waktu tempuh yang lebih lama), melainkan juga finansial (contoh: lebih banyak uang keluar untuk membeli BBM, mengganti biaya kerusakan kendaraan jika ada) dan psikologis (perasaan lelah dan tertekan).  Ini baru ditinjau dari sisi karyawan. Belum lagi dari sisi pelaku bisnis dan ibu rumah tangga. Bayangkan bagainama perasaan mereka mellihat tempat mencari nafkah dan tempat bernaung yang dibangun dengan susah payah rusak terendam air.
Entah sudah berapa lama kondisi ini berlangsung.  Yang jelas, saat banjir besar melanda Jakarta tahun 1996, penulis ingat saat itu masih duduk di bangku sekolah.  Di samping itu, entah sudah berapa ratus kali, bahkan mungkin ribuan kali,  para pakar melontarkan kritik dan sarannya. Baik pakar lingkungan maupun perencanaan kota.  Tujuannya tentu agar bencana serupa jangan berulang lagi di waktu-waktu mendatang.
Apakah negeri ini kekurangan pakar lingkungan dan perencanaan kota? Rasanya tidak.  Namun ternyata masalah banjir tak kunjung usai. Demikian pula masalah degradasi lingkungan.  Lalu, apa yang salah? Agaknya ini sama persis dengan kondisi yang terjadi dalam penegakan hukum.  Jumlah fakultas hukum semakin banyak, tentu demikian pula dengan jumlah sarjana dan pakar hukum.  Namun mengapa penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari harapan? Contoh lainnya adalah bidang pertanian. Katanya negeri ini kaya akan bahan pangan.  Namun mengapa hingga saat ini Indonesia masih banyak bergantung pada pangan impor?
Penulis teringat apa yang pernah dikatakan oleh dosen penulis saat masih duduk di bangku kuliah.  Katanya, untuk sukses seseorang wajib memiliki tiga hal, yaitu keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Tanpa ketiganya, mustahil seseorang bisa sukses. Kalaupun sukses, sifatnya hanya sementara. Namun sebenarnya ketiga hal ini bukan hanya individu yang wajib memilikinya, melainkan juga sebuah kelompok dan organisasi, dari mulai yang kecil (semisal keluarga) hingga yang besar (semisal perusahaan atau negara). Bukankah sebuah kelompok atau organisasi terdiri dari kumpulan individu-individu?
Bagaimana dengan Indonesia? Rasanya kita semua tahu dalam hal pengetahuan dan keterampilan, negeri ini relatif tidak kekurangan. Jumlah orang yang bergelar sarjana, master, daan doktor semakin banyak. Demikian pula dengan penyelenggaran pendidikan keterampilan dan para lulusannnya. Meski belum sebanyak negara-negara maju, rasanya cukup untuk menjadikan negara ini lebih baik. Bukankah pada masa perjuangan meraih kemerdekaan dulu jumlah sarjana masih minim?Namun dari yang sedikit itu mampu menorehkan prestasi yang gemilang: mengantarkan Indonesia meraih kemerdekaan.
 Bagaimana dengan perilaku? Erie Sudewo (2011) dalam bukunya yang berjudul “Character Building” membagi perilaku menjadi dua, karakter dan tabiat. Karakter merupakan kumpulan tingkah laku baik dari seorang anak manusia, yang merupakan perwujudan dari kesadaran menjalankaan peran, fungsi, dan tugasnya mengemban amanah dan tanggung jawab. Sementara tabiat menjelaskan sejumlah perangai buruk seseorang.
 Selanjutnya Sudewo membagi karakter ke dalam dua kelompok besar, karakter pokok dan karakter pilihan. Karakter pokok harus dimiliki oleh setiap orang, apapun profesinya, bahkan peenganggur sekalipun. Karakter pokok ini dibagi lagi ke dalam tiga kelompok, yaitu karakter dasar, karakter unggul, dan karakter pemimpin. Karakter dasar terdiri dari tiga sifat dasar, yaitu tidak egois, jujur, dan disiplin. Cukup dengan memiliki ketiga sifat ini, seseorang sudah bisa jadi orang baik. Karakter dasar merupakan fondasi yang menentukan baik buruknya seseorang. Karakter unggul dibentuk oleh tujuh sifat baik, yaitu ikhlas, sabar, bersyukur, bertanggung jawab, berkorban, perbaiki diri, dan sungguh-sungguh. Sementara karakter pemimpin memiliki sepuluh sifat baik, yaitu adil, arif, bijaksana, ksatria, tawadhu, sederhana visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif. Sementara karakter pilihan adalah perilaku baik yang berkembang sesuai denggan pekerjaan. Tuntutan karakter guru tentu berebeda dengan tuntutan karakter tentara, pengacara, atau dokter.
Pertanyaannya addalah, apakah bangsa ini sudah memiliki karakter, terutama karakter dasar, yaitu tidak egois, jujur daan disiplin? Kalau tidak egois, mengapa masih sangat banyak kita jumpai orang-orang menyerobot antrian seenaknya tanpa peduli keselamatan dan kenyamanan orang lain? Mengapa banyak fasilitas umum seperti toilet tidak terawat sehingga akhirnya tidak layak pakai? Mengapa para petinggi masih lebih suka mementingkan diri dan golongannya? Kalau bangsa kita sudah jujur, mengapa Transparency International (TI) memasukkan Indonesia ke dalam negara yang tingkat korupsinya tinggi?Mengapa Indonesia menjadi salah satu neegara terkorup di Asia? Kalau bangsa kita sudah disiplin, mengapa sering kita jumpai pegawai pemerintah yang masih belum datang atau berleha-leha padahal jam kerjaa sudah mulai? Adakah sanksi untuk mereka? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang dapat diajukan.
Jika karakter dasar saja sudah tidak punya, jangan ditanya bagaimana karakter unggul dan karakter pimpinannya. Maka jelaslah masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini berakar dari ketiadaan karakter. Karakter pula yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain yang lebih maju. Karakter pulalah yang menjadikan para pendiri bangsa ini berhasil mengantarkan Indonesia meraih kemerdekaan. Maka jika ingin Indonesia lebih maju, tidak dapat ditawar lagi.  Karakter bangsa harus diperkuat. Kapan hal ini terwujud?

Senin, 19 November 2012

Ancaman Degradasi


Suatu senja pada hari Jum’at. Jam kerja telah usai.  Seorang karyawan bersiap-siap untuk pulang. Namun sebelumnya, ia keluar ruangan untuk membasuh muka. Saat kembali dan hendak memasuki  ruangan, ia terkejut karena melihat  sang pemilik peusahaan sedang berbicara dengan rekan kerjanya. Segera ia mengurungkan niatnya memasuki ruangan.  Ia lalu menuju ruang makan dan mengambil segelas air, padahal sama sekali tidak haus. Namun baginya, hal itu lebih baik ketimbang ditegur oleh sang pemilik perusahaan.  Ia enggan  berdiskusi panjang lebar dengan si pemilik perusahaan. Semua orang tahu betapa kacau balaunya pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam perusahaan.  Mulai dari rekrutmen hingga kompensasi. Mari melihat contoh berikut ini. Bagi sang pemimpn, yang terpenting adalah calon karyawan mau dibayar murah.  Soal kompetensi nomor sekian, yang jelas bukan nomor satu. Masalahnya, begitu melihat  si karyawan yang direkrut gagal menunjukkan kinerja optimal, kata-kata makianlah yang keluar.  Padahal, perusahaan bergerak dalam bidang dimana kompetensi SDM adalah segalanya.  Jangan tanya soal kompensasi. Perusahaan selalu berdalih tidak punya uang. Lucunya, si pemilik perusahaan sering menyelenggarakan pesta mewah bersama keluarganya.  Banyak pejabat dan orang-orang ternama diundang. Di depan mereka, si pemilik menampilkan kesan betapa hebat perusahaannya. Pencitraan, kata orang sekarang.  Maka tak heran tingkat keluar masuk karyawan sangat tinggi, di luar batas kewajaran.
Perusahaan ini, sebut saja namanya perusahaan  T,  yang berkantor di bilangan Jakarta Utara, memiliki visi menjadi pemimpin pasar dalam produk dan layanan yang digelutinya. Namun jangankan menjadi perusahaan kelas dunia, sistempun nyaris tidak ada. Untuk diketahui, perusahaan ini memiliki sister company, sebutlah namanya perusahaan U. Namun perusahaan U ini nyaris tidak memiliki pelanggan. Bahkan boleh dikatakan, perusahaan ini secara finansial sudah bangkrut.  Namun sang sister company tetap eksis karena mendapat dukungan dari perusahaan T.  Bukan hanya dukungan dana, melainkan juga dukungan dalam bentuk lainnya, semisal karyawan, persediaan, peralatan, dan sebagainya.  Maka tak heran bila pimpinan perusahaan  U bisa seenaknya memberi tugas kepada karyawaan perusahaan T.  Apakah sang karyawan dari  T mendapat gaji dari perusahaan U? Saya yakin anda langsung bisa menjawabnya. Padahal sebagai sebuah perusahaan,  seharusnya T memiliki karyawan, struktur organisasi, sistem, dan aset sendiri.  Secara formal, barangkali hal-hal tersebut memang  dicantumkan. Namun lain di atas kertas, lain pelaksanaannya.
Dengan kondisi perusahaan yang amburadul,  lantas bagaimana dengan kinerjanya?Ternyata perusahaan masih mampu membukukan keuntungan secara finansial. Bagi pemimpin perusahaan, hal ini tentu kabar bagus.  Paling tidak, ia bisa berdalih, “lihat, dengan gaya pengelolaan seperti ini perusahaan tetap berhasil meraih untung”. Yang menadi perrtanyaan, apakah kondisi ini bisa dipertahankan untuk jangka panjang?
Keuntungan finansial yang diraih dibangun di atas fondasi yang rapuh dengan mengorbankan pengelolaan SDM yang baik. Pertumbuhan berkelanjutan hanya mungkin dicapai apabila digerakkan oleh SDM yang kompeten dan berdedikasi.  Dalam hal ini, organisasi tidak punya pilihan. Pada level negara, keberhasilan Korea Selatan menjadi negara maju berpendapatan tinggi adalah berkat kesungguhannya membangun SDM melalui pendidikan yang bermutu.  Tanpa SDM yang mumpuni, perusahaan boleh jadi masih bisa menghasilkan keuntungan secara finansial, namun tanpa pertumbuhan yang berkualitas.
Perusahaan T boleh jadi berargumen, toh kita masih bisa menggait pelanggan. Namun jangan lupa, kita hidup di era persaingan yang makin terbuka. Pelanggan makin memiliki banyak pilihan. Jika tidak puas dengan yang satu, mereka dengan mudah pindah ke lain hati. Sekarag mereka masih loyal. Namun di masa depan, siapa yang dapat menjamin? Apalagi jika mereka melihat perusahaan lain yang lebih responsif.   Di samping itu, pesaing tentu tidak tidur. Mereka tentu akan berusaha mati-matian merebut pelanggan dari pesaing.
Penulis menganalogkan perusahaan T sebagai tim yang selalu berada di jajaran papan tengah  sebuah kompetisi liga sepakbola. Meski tidak sampai terdegradasi, tim sulit bersaing dengan tim papan atas. Prestasinya sama sekali tidak istimewa. Jika tidak berbenah, cepat atau lambat tim ini terancam terdegradasi. Apatah lagi tim-tim pesaing giat membenahi diri.  Lain ceritanya jika T memang telah puas hanya dengan posisi medioker. Namun bukankah hal ini bertentangan dengan cita-cita perusahaan?