Senin, 19 November 2012

Ancaman Degradasi


Suatu senja pada hari Jum’at. Jam kerja telah usai.  Seorang karyawan bersiap-siap untuk pulang. Namun sebelumnya, ia keluar ruangan untuk membasuh muka. Saat kembali dan hendak memasuki  ruangan, ia terkejut karena melihat  sang pemilik peusahaan sedang berbicara dengan rekan kerjanya. Segera ia mengurungkan niatnya memasuki ruangan.  Ia lalu menuju ruang makan dan mengambil segelas air, padahal sama sekali tidak haus. Namun baginya, hal itu lebih baik ketimbang ditegur oleh sang pemilik perusahaan.  Ia enggan  berdiskusi panjang lebar dengan si pemilik perusahaan. Semua orang tahu betapa kacau balaunya pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam perusahaan.  Mulai dari rekrutmen hingga kompensasi. Mari melihat contoh berikut ini. Bagi sang pemimpn, yang terpenting adalah calon karyawan mau dibayar murah.  Soal kompetensi nomor sekian, yang jelas bukan nomor satu. Masalahnya, begitu melihat  si karyawan yang direkrut gagal menunjukkan kinerja optimal, kata-kata makianlah yang keluar.  Padahal, perusahaan bergerak dalam bidang dimana kompetensi SDM adalah segalanya.  Jangan tanya soal kompensasi. Perusahaan selalu berdalih tidak punya uang. Lucunya, si pemilik perusahaan sering menyelenggarakan pesta mewah bersama keluarganya.  Banyak pejabat dan orang-orang ternama diundang. Di depan mereka, si pemilik menampilkan kesan betapa hebat perusahaannya. Pencitraan, kata orang sekarang.  Maka tak heran tingkat keluar masuk karyawan sangat tinggi, di luar batas kewajaran.
Perusahaan ini, sebut saja namanya perusahaan  T,  yang berkantor di bilangan Jakarta Utara, memiliki visi menjadi pemimpin pasar dalam produk dan layanan yang digelutinya. Namun jangankan menjadi perusahaan kelas dunia, sistempun nyaris tidak ada. Untuk diketahui, perusahaan ini memiliki sister company, sebutlah namanya perusahaan U. Namun perusahaan U ini nyaris tidak memiliki pelanggan. Bahkan boleh dikatakan, perusahaan ini secara finansial sudah bangkrut.  Namun sang sister company tetap eksis karena mendapat dukungan dari perusahaan T.  Bukan hanya dukungan dana, melainkan juga dukungan dalam bentuk lainnya, semisal karyawan, persediaan, peralatan, dan sebagainya.  Maka tak heran bila pimpinan perusahaan  U bisa seenaknya memberi tugas kepada karyawaan perusahaan T.  Apakah sang karyawan dari  T mendapat gaji dari perusahaan U? Saya yakin anda langsung bisa menjawabnya. Padahal sebagai sebuah perusahaan,  seharusnya T memiliki karyawan, struktur organisasi, sistem, dan aset sendiri.  Secara formal, barangkali hal-hal tersebut memang  dicantumkan. Namun lain di atas kertas, lain pelaksanaannya.
Dengan kondisi perusahaan yang amburadul,  lantas bagaimana dengan kinerjanya?Ternyata perusahaan masih mampu membukukan keuntungan secara finansial. Bagi pemimpin perusahaan, hal ini tentu kabar bagus.  Paling tidak, ia bisa berdalih, “lihat, dengan gaya pengelolaan seperti ini perusahaan tetap berhasil meraih untung”. Yang menadi perrtanyaan, apakah kondisi ini bisa dipertahankan untuk jangka panjang?
Keuntungan finansial yang diraih dibangun di atas fondasi yang rapuh dengan mengorbankan pengelolaan SDM yang baik. Pertumbuhan berkelanjutan hanya mungkin dicapai apabila digerakkan oleh SDM yang kompeten dan berdedikasi.  Dalam hal ini, organisasi tidak punya pilihan. Pada level negara, keberhasilan Korea Selatan menjadi negara maju berpendapatan tinggi adalah berkat kesungguhannya membangun SDM melalui pendidikan yang bermutu.  Tanpa SDM yang mumpuni, perusahaan boleh jadi masih bisa menghasilkan keuntungan secara finansial, namun tanpa pertumbuhan yang berkualitas.
Perusahaan T boleh jadi berargumen, toh kita masih bisa menggait pelanggan. Namun jangan lupa, kita hidup di era persaingan yang makin terbuka. Pelanggan makin memiliki banyak pilihan. Jika tidak puas dengan yang satu, mereka dengan mudah pindah ke lain hati. Sekarag mereka masih loyal. Namun di masa depan, siapa yang dapat menjamin? Apalagi jika mereka melihat perusahaan lain yang lebih responsif.   Di samping itu, pesaing tentu tidak tidur. Mereka tentu akan berusaha mati-matian merebut pelanggan dari pesaing.
Penulis menganalogkan perusahaan T sebagai tim yang selalu berada di jajaran papan tengah  sebuah kompetisi liga sepakbola. Meski tidak sampai terdegradasi, tim sulit bersaing dengan tim papan atas. Prestasinya sama sekali tidak istimewa. Jika tidak berbenah, cepat atau lambat tim ini terancam terdegradasi. Apatah lagi tim-tim pesaing giat membenahi diri.  Lain ceritanya jika T memang telah puas hanya dengan posisi medioker. Namun bukankah hal ini bertentangan dengan cita-cita perusahaan?