Suatu senja pada hari Jum’at. Jam kerja telah usai. Seorang karyawan bersiap-siap untuk pulang. Namun sebelumnya, ia keluar ruangan untuk membasuh muka. Saat kembali dan hendak memasuki ruangan, ia terkejut karena melihat sang pemilik peusahaan sedang berbicara dengan rekan kerjanya. Segera ia mengurungkan niatnya memasuki ruangan. Ia lalu menuju ruang makan dan mengambil segelas air, padahal sama sekali tidak haus. Namun baginya, hal itu lebih baik ketimbang ditegur oleh sang pemilik perusahaan. Ia enggan berdiskusi panjang lebar dengan si pemilik perusahaan. Semua orang tahu betapa kacau balaunya pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam perusahaan. Mulai dari rekrutmen hingga kompensasi. Mari melihat contoh berikut ini. Bagi sang pemimpn, yang terpenting adalah calon karyawan mau dibayar murah. Soal kompetensi nomor sekian, yang jelas bukan nomor satu. Masalahnya, begitu melihat si karyawan yang direkrut gagal menunjukkan kinerja optimal, kata-kata makianlah yang keluar. Padahal, perusahaan bergerak dalam bidang dimana kompetensi SDM adalah segalanya. Jangan tanya soal kompensasi. Perusahaan selalu berdalih tidak punya uang. Lucunya, si pemilik perusahaan sering menyelenggarakan pesta mewah bersama keluarganya. Banyak pejabat dan orang-orang ternama diundang. Di depan mereka, si pemilik menampilkan kesan betapa hebat perusahaannya. Pencitraan, kata orang sekarang. Maka tak heran tingkat keluar masuk karyawan sangat tinggi, di luar batas kewajaran.
Perusahaan ini, sebut saja namanya perusahaan T,
yang berkantor di bilangan Jakarta Utara, memiliki visi menjadi pemimpin
pasar dalam produk dan layanan yang digelutinya. Namun jangankan menjadi
perusahaan kelas dunia, sistempun nyaris tidak ada. Untuk diketahui, perusahaan
ini memiliki sister company, sebutlah
namanya perusahaan U. Namun perusahaan U ini nyaris tidak memiliki
pelanggan. Bahkan boleh dikatakan, perusahaan ini secara finansial sudah
bangkrut. Namun sang sister company tetap eksis karena
mendapat dukungan dari perusahaan T.
Bukan hanya dukungan dana, melainkan juga dukungan dalam bentuk lainnya,
semisal karyawan, persediaan, peralatan, dan sebagainya. Maka tak heran bila pimpinan perusahaan U bisa seenaknya memberi tugas kepada
karyawaan perusahaan T. Apakah sang karyawan
dari T mendapat gaji dari perusahaan U?
Saya yakin anda langsung bisa menjawabnya. Padahal sebagai sebuah perusahaan, seharusnya T memiliki karyawan, struktur
organisasi, sistem, dan aset sendiri.
Secara formal, barangkali hal-hal tersebut memang dicantumkan. Namun lain di atas kertas, lain
pelaksanaannya.
Dengan kondisi perusahaan yang amburadul, lantas bagaimana dengan kinerjanya?Ternyata
perusahaan masih mampu membukukan keuntungan secara finansial. Bagi pemimpin
perusahaan, hal ini tentu kabar bagus.
Paling tidak, ia bisa berdalih, “lihat, dengan gaya pengelolaan seperti
ini perusahaan tetap berhasil meraih untung”. Yang menadi perrtanyaan, apakah kondisi
ini bisa dipertahankan untuk jangka panjang?
Keuntungan
finansial yang diraih dibangun di atas fondasi yang rapuh dengan mengorbankan
pengelolaan SDM yang baik. Pertumbuhan berkelanjutan hanya mungkin dicapai apabila
digerakkan oleh SDM yang kompeten dan berdedikasi. Dalam hal ini, organisasi tidak punya
pilihan. Pada level negara, keberhasilan Korea Selatan menjadi negara maju
berpendapatan tinggi adalah berkat kesungguhannya membangun SDM melalui
pendidikan yang bermutu. Tanpa SDM yang
mumpuni, perusahaan boleh jadi masih bisa menghasilkan keuntungan secara
finansial, namun tanpa pertumbuhan yang berkualitas.
Perusahaan T boleh jadi berargumen, toh kita masih bisa
menggait pelanggan. Namun jangan lupa, kita hidup di era persaingan yang makin
terbuka. Pelanggan makin memiliki banyak pilihan. Jika tidak puas dengan yang
satu, mereka dengan mudah pindah ke lain hati. Sekarag mereka masih loyal.
Namun di masa depan, siapa yang dapat menjamin? Apalagi jika mereka melihat
perusahaan lain yang lebih responsif.
Di samping itu, pesaing tentu tidak tidur. Mereka tentu akan berusaha mati-matian
merebut pelanggan dari pesaing.
Penulis menganalogkan perusahaan T sebagai tim yang
selalu berada di jajaran papan tengah sebuah
kompetisi liga sepakbola. Meski tidak sampai terdegradasi, tim sulit bersaing
dengan tim papan atas. Prestasinya sama sekali tidak istimewa. Jika tidak
berbenah, cepat atau lambat tim ini terancam terdegradasi. Apatah lagi tim-tim
pesaing giat membenahi diri. Lain
ceritanya jika T memang telah puas hanya dengan posisi medioker. Namun bukankah
hal ini bertentangan dengan cita-cita perusahaan?