Menjelang
bulan puasa, paling tidak ada dua fenomena yang jamak dijumpai. Pertama,
naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, terutama bahan-bahan makanan
semisal daging, telur, gula, minyak goreng, bawang, dan sebagainya. Judul-judul berita semisal “Pemerintah
menjamin stok bahan pangan cukup menjelang puasa”, “Menjelang puasa,
harga-harga mulai merangkak naik”, dan “Pemerintah siap antisipasi lonjakan
permintaan barang” menghiasi halaman-halaman media cetak dan media dalam
jaringan (daring), khususnya di rubrik ekonomi dan bisnis. Media elektronik
seperti televisi dan radio juga memberitakan hal senada.
Fenomena
kedua adalah dikaitkannya promosi di media
dengan bulan puasa. Hal ini berlaku untuk nyaris semua jenis barang,
bukan saja makanan melainkan juga produk elektronik, otomotif, gawai
telekomunikasi, alat-alat rumah tangga, dan lain-lain. Ada seuah produk
elektronik yang memasang slogan “kejutan seru di bulan penuh berkah”. Slogan
lain misalnya “lengkapi kebahagiaan bulan pernuh berkah dengan produk terbaru
kami”. Dengan promosi semacam ini,
agaknya ingin dibentuk opini: kita harus membeli mobil baru, gawai baru,
komputer baru, dan mesin cuci baru menyambut datangnya bulan puasa.
Untuk
fenomena pertama, mengapa harga-harga barang melonjak naik? Ditinjau dari ilmu
ekonomi, jawabannya sederhana: berlakunya hukum permintaan pasar. Jika
permintaan meningkat, harga-harga barang akan terangkat. Yang menjadi
pertanyaan, mengapa menjelang Ramadan permintaan barang-batang kebutuhan pokok
melonjak?Apakah pada bulan puasa masyarakat mengkonsumsi lebih banyak makanan?Bukankah
pada bulan Ramadan orang-orang yang berpuasa tidak makan dan minum apapun di
siang hari?Bagaimana dengan di malam hari? Jangan-jangan orang melakukan “balas
dendam”, memimbun banyak makanan untuk mengompensasi tiadannya asupan makanan
dan minuman di siang hari. Jika demikian, bukankah ini tidak baik bagi
kesehatan?Berbeda halnya jika pembelian itu dilakukan demi menyediakan makanan
untuk berbuka bagi orang yang berpuasa. Ini sesuai dengan sebuah hadis nabi
yang menyatakan bahwa barangsiapa yang memberi makanan kepada orang lain untuk
berbuka puasa, maka pahalanya sama dengan pahala orang yang berpuasa. Jika ini
niatnya, tentu sangat baik. \
Untuk
fenomena kedua, agaknya hal ini berkaitan dengan bertumbuhnya kelompok kelas
menengah di Indonesia. Menurut Bank Dunia, penduduk
kelas menengah merupakan warga yang hidup dengan pendapatan 4,5-22,1 Dollar AS per
hari dan tidak perlu mengkhawatirkan kekayaannya. Kelompok kelas menengah ini rakus
terhadap berbagai macam produk, terutama produk-produk yang melambangkan simbol
status kelas atas semisal alat-akat komunikasi, otomotif, dan alat-alat
elektronik. Mereka semakin rajin berganti produk sesuai dengan mode. Mereka
kerap membeli barang lantaran faktor emosi, bukan rasio. Faktor-faktor inilah yang
dimanfaatkan oleh para produsen untuk menarik minat mereka, termasuk memanfaatkan
momentum Ramadan.
Melihat
kedua fenomena di atas, seolah-olah kita diajarkan bahwa dalam rangka menyambut
bulan Ramadan, kita harus bersiap-siap dengan cara membeli lebih banyak stok
makanan serta membeli barang-barang baru yang belum tentu kita butuhkan. Benarkah
kita harus berfokus pada dua hal itu?Tentu saja tidak. Beberapa waktu lalu,
seorang penceramah mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus dipersiapkan
untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Keempat hal itu adalah jasmani,
rohani, harta, dan ilmu. Jasmani berarti kita harus menjaga kesehatan tubuh
melalui pola makan, pola tidur, dan aktivitas fisik yang benar. Rohani berarti
hendaknya kita menyambut Ramadan dengan hati yang bersih dari sifat-sifat buruk
seperti dendam, iri hati , takabur, dan serakah. Juga persiapan untuk
menjalankan berbagai macam ibadah selama bulan Ramadan serta meninggalkan
hal-hal yang membatalkan pahala puasa.
Sebelum Ramadan, hendaknya kita menyisihkan lebih banyak harta untuk
bersedekah karena setiap amal saleh di bulan Ramadan akan dilipatgandakan
pahalanya. Menjelang Ramadan, sangat dianjurkan untuk kembali mempelajari ilmu
tentang puasa Ramadan, semisal syarat sah, hal-hal yang membatalkan,
ibadah-ibadah yang dianjurkan, dan sebagainya.
Keempat
hal itulah yang harus dipersiapkan, bukan stok makanan yang melimpah untuk
dimakan sendiri dan barang-barang baru yang tak jelas kebutuhannya.