Kamis, 30 Mei 2013

Giliran



“To everything turn turn turn”
“There is a season turn turn turn”

Penggemar sepak bola minggu lalu melepas dua bintang yang telah memberi warna tersendiri pada olahraga paling populer sejagat itu. Pertama adalah Sir Alex Ferguson, yang memutuskan pensiun sebagai pelatih dan manajer Manchester United (MU) setelah 26 tahun. Selama masa kepemimpinannya, MU berhasil meraih 2 kali juara Liga Champions, 13 kali juara liga Inggris, dan 5 kali juara piala FA. Yang paling terkenal adalah tahun 1999 saat MU meraih “treble”, juara liga Inggris, juara piala FA, dan Piala Champions dalam satu musim kompetisi. Atas prestasinya ini, Ferguson dianugerahi gelar bangsawan “Sir”. Catatan lain yang perlu ditambahkan adalah konsistensi prestasi MU selama kepemimpinan Ferguson. Meski tidak selalu menjadi juara, prestasi MU tidak pernah anjlok drastis. Setiap akhir kompetisi, MU selalu berhasil masuk jajaran klub yang berhak meraih tiket liga Champions. Prestasi yang demikian fenomenal ini rasanya akan sulit disamai oleh pelatih manapun, bahkan mungkin hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.
Mengapa Ferguson memutuskan mundur dari posisi manajer MU yang telah membesarkan namanya itu? Menurut koleganya, yang juga mantan pelatih tim nasional Inggris, Fabio Capello, Ferguson ingin melepas stres dan pergi keliling dunia bersama istrinya. Sebuah alasan yang logis mengingat makin beratnya tekanan untuk mencapai prestasi puncak. Bukan saja di satu turnamen melainkan juga di beberapa turnamen. Apalagi saat ini Ferguson telah berusia 71 tahun. Saatnya memberi kesempatan kepada yang lebih muda.
Kedua adalah David Beckham, yang memutuskan mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola profesional. Ia telah menjalani laga terakhirnya bersama klub asal Perancis,  Paris Saint-Germain (PSG). Beckham, yang terkenal dengan tendangan paraboilknya, adalah pemain Inggris pertama yang berhasil membawa klub dari empat negara yang berbeda menjadi juara di liga masing-masing yaitu MU (Inggris), Real Madrid (Spanyol), LA Galaxy (Amerika Serikat), dan PSG (Perancis). Di tim nasional, Beckham adalah pemain Inggris pertama yang mencetak gol di tiga Piala Dunia, masing-masing di tahun 1998, 2002, dan 2006. Yang belum kesampaian adalah membawa Inggris meraih prestasi tertinggi, baik di kancah Piala Eropa maupun Piala Dunia. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghargaan pencinta sepak bola terhadap dirinya. Mengenai alasannya untuk mundur, Beckham mengatakan bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk pensiun. Ia merasa telah meraih segalanya yang mungkin dalam kariernya sebagai pemain sepak bola. Ia ingin pergi sebagai juara.
Lantas apa hubungan antara pensiunnya Sir Alex Ferguson dan David Beckham dengan dua kalimat di awal tulisan ini? Dua kalimat itu adalah penggalan syair lagu yang berjudul “Turn! Turn! Turn!”.  Lagu ini digubah oleh Peter Seeger pada tahun 1959 dan menjadi amat populer secara internasional pada tahun 1965 saat dinyanyikan oleh kelompok musik The Byrds.
Tema lagu “Turn! Turn! Turn!” ini menggugah hati penulis: segala sesuatu ada gilirannya. Ada saat Sir Alex Ferguson memulai kariernya sebagai pelatih MU pada bulan November 1986. Pada bulan Mei 2013, Ferguson merasa saatnya mundur sebagai manajer MU telah tiba. Hal yang sama juga berlaku bagi Beckham.
Giliran tentu bukan hanya milik Ferguson dan Beckham, melainkan juga milik setiap orang. Mari kita simak sebagian lagi penggalan lagu “Turn! Turn! Turn!” ini
A time to be born, a time to die
A time to plant, a time to reap
A time to laugh, a time to weep
A time to build up, a time to break down
A time gain, a time to lose
Bukan hanya hal-hal yang besar. Untuk hal-hal yang kecilpun ada gilirannya. Ada saat pergi ke tempat kerja, ada saat pulang ke rumah. Ada saat bangun tidur, ada saat pergi tidur. Ada saat bertemu, ada saat berpisah. Dan sebagainya.
Tidak bisa tidak, giliran-giliran ini harus kita jalani. Yang paling penting adalah bagaimana mengisi gilran-giliran itu dengan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Inilah yang telah dilakukan oleh seorang Ferguson dan Beckham.


Jumat, 17 Mei 2013

Pas-Pasan



Indonesia terancam masuk ke dalam perangkap negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap). Demikian dikemukakan oleh banyak pakar ekonomi. Istilah ini mengacu kepada negara-negara yang berhasil masuk ke jajaran negara berpendapatan menengah namun kemudian gagal naik kelas menjadi negara maju. Jumlah negara yang masuk kategori ini tidak sedikit. Sebutlah negara-negara semisal Brasil, Argentina, Filipina, dan Afrika Selatan. Sebaliknya, hanya sedikit yang berhasil naik kelas menjadi negara maju. Salah satunya adalah Korea Selatan, yang perekonomiannya kini sejajar dengan negara-negara maju semisal Jepang, Jerman, Inggris, dan Perancis.
Pada awalnya, banyak negara mengandalkan upah buruh murah agar produk-produknya dapat bersaing. Namun seiring dengan meningkatnya pendapatan dan upah buruh, negara-negara ini menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka kalah bersaing dengan negara-negara yang menawarkan biaya produksi lebih rendah. Namun di sisi lain, mereka belum mampu menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi. Negara yang terperosok ke dalam Middle Income Trap, menurut Rhee (2012), ditandai oleh rendahnya rasio investasi, lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur, terbatasnya diversifikasi industri, dan buruknya kondisi pasar tenaga kerja.
Tumbuh pesat di awal, kemudian mulai kedodoran di tengah perjalanan, dan akhirnya gagal masuk ke jajaran kelompok unggulan. Demikianlah pola negara-negara yang terkena Middle Income Trap. Namun sejatinya pola ini tidak hanya terjadi pada organisasi berbentuk negara. Banyak organisasi semisal perusahaan dan klub olahraga yang mengalaminya. Penulis senang menyebutnya dengan istilah organisassi pas-pasan (mediocre organization).
Betapa banyak perusahaan yang tumbuh pesat pada awal-awal masa berdirinya, namun kemudian kinerjanya menjadi pas-pasan. Meski tidak sampai bangkrut, namun mereka tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan papan atas. Hal serupa terjadi dalam dunia olahraga. Di kompetisi liga sepak bola, banyak tim yang prestasinya dari tahun ke tahun tak pernah beranjak dari papan tengah. Meski tidak sampai terdegradasi, mereka sulit menggeser dominasi tim unggulan. Di dunia Bulu Tangkis, prestasi pemain-pemain  Indonesia tidak lagi sementereng sebelumnya meski kita belum tenggelam.  Namun ini masih lebih baik ketimbang tim sepak bola Indonesia, yang hanya bisa bernostalgia mengenang kejayaan masa lalu.
Lantas apa yang harus dilakukan agar terhindar dari jebakan organisasi pas-pasan ini? Kunci utamanya adalah  kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk mewujudkan hal ini, dalam konteks negara tidak ada yang dapat menggantikan pendidikan yang berkualitas. Inilah kunci keberhasilan Korea Selatan menjadi negara maju.   Dalam konteks perusahaan, hal ini berarti pelatihan dan pengembangan yang berkesinambungan bagi karyawan. Sedangkan dalam konteks klub olahraga, pembinaan pemain muda menjadi kunci prestasi. Contohnya adalah Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund, dua klub Jerman yang bertemu dalam partai puncak Liga Champions Eropa tahun 2013.
Berikutnya adalah inovasi, baik inovasi produk maupun aktivitas. Inovasilah yang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih berkualitas. Sayang, kemampuan berinovasi bangsa Indonesia masih rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat Indonesia dalam Indeks Inovasi Global, yang hanya menduduki peringkat ke-100 dari 141 negara, jauh di bawah Negara-negara Asia lain semisal Singapura (ke-3), Korea Selatan (kw-21), Jepang (ke-25), Malaysia (ke-32), dan Thailand (ke-57).
Dalam sebuah organisasi, SDM berkualitas tinggi tidak mungkin berkinerja maksimal tanpa didukung suasana kerja yang kondusif. Termasuk di dalamnya lingkungan fisik yang aman, suasana kerja yang menyenangkan secara psikologis, penghargaan yang pantas, dan penilaian kinerja yang objektif dan transparan.  Tanpa itu semua, jangan harap orang betah bekerja. Yang terjadi adalah fenomena Brain Drain dan tingkat keluar masuk karyawan (turnover) yang tinggi.
Untuk mewujudkan SDM yang berkualitas, inovasi, dan suasana kerja yang kondusif, diperlukan kepemimpinan yang visioner, berkomitmen, konsisten, tegas, dan pandai memberi arahan. Pertanyaannya, untuk konteks negara Indonesia, adakah sosok pemimpin yang demikian itu?