Jumat, 08 Maret 2013

Adu Penalti


Piala Afrika 2013 di Afrika Selatan telah berakhir lebih dari satu bulan yang lalu. Nigeria keluar sebagai juara setelah di pertandingan final mengalahkan Burkina Faso dengan skor 1-0. Melajunya  Burkina Faso hingga pertandingan puncak cukup mengejutkan. Pasalnya, prestasi tim ini kurang menonjol dibanding negara-negara Afrika lainnya.
Dua tim yang lebih difavoritkan, Afrika Selatan dan Ghana, tersingkir setelah kalah dalam adu penalti. Afrika selatan dikalahkan  Mali di babak perempat final, sementara Ghana dikandaskan  Burkina Faso di babak semi final.
Dalam pertandingan dengan sistem gugur, adu penalti menjadi penentu pemenang pertandingan apabila kedua tim hanya mampu bermain imbang kendati setelah perpanjangan waktu berakhir.  Kritik yang sering terlontar: kemenangan melalui adu penalti lebih banyak disebabkan faktor keberuntungan. Badan tertinggi sepakbola internasional, FIFA, pernah mencoba menjawab kritik ini dengan aturan gol emas (golden goal) atau gol perak (silver goal). Tujuannya agar kedua tim berani tampil lebih menyerang. Yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menyerang, kedua tim justru cenderung bermain lebih defensif agar tidak kebobolan.  Maklum, berdasarkan aturan golden goal, siapa yang mencetak gol lebih dulu langsung ditetapkan sebagai pemenang.  Kebobolan berarti kiamat. Akibatnya, permainan menjadi tidak menarik dinikmati. Agaknya, karena alasan inilah akhirnya aturan golden goal dan silver goal tidak lagi diberlakukan
Kembali kepada soal adu penalti, benarkah kemenangan sebuah tim semata-mata karena faktor keberuntungan? Ternyata tidak demikian. Agar tendangan penalti dapat menghasilkan gol, ada dua hal yang harus diperhatikan: arah tendangan dan kecepatan bola melesat ke dalam gawang. Keduanya harus ada karena bila tidak bola dapat dengan mudah  dimentahkan  penjaga gawang. Kemungkinan lainnya, arah bola melambong, melebar, atau membentur tiang gawang.
Berdasarkan perhitungan  matematis, ada daerah-daerah di gawang yang jika bola diarahkan ke daerah-daerah itu tidak ada satu penjaga gawangpun yang dapat menjangkaunya. Namun arah yang tepat ini harus diimbangi dengan tendangan yang bertenaga. Jika tidak, gol tidak akan tercipta.
Ingatan penulis lantas melayang ke pertandingan final Piala Dunia tahun 1990 antara Argentina melawan Jerman Barat (Jerbar). Kala itu, Jerbar keluar sebagai juara setelah menang dengan skor 1-0.  Satu-satunya gol dicetak oleh Andreas Brehme melalui titik penalti. Penulis terkesan dengan cara Brehme mengeksekusi penalti. Bola diarahkan ke titik yang tidak mungkin dijangkau oleh penjaga gawang Argentina saat itu, Sergio Goycochea. Tendangan  dilakukan cukup keras. Untuk diketahui, Goycochea, yang menggantikan Nery Pumpido yang cedera, dikenal sebagai penyelamat tendangan penalti.  Ia dua kali menjadi pahlawan Argentina dalam adu penalti saat mengalahkan Yugoslavia dan Italia, masing-masing di babak perempat final dan semi final Piala Dunia 1990.
Jika mengacu kepada perhitungan matematis seperti di atas, mestinya tidak sulit mencetak gol melalui tendangan penalti. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam waktu normal, hadiah penalti menjadi peluang terbaik untuk mencetak gol. Kenyataannya, masih banyak yang gagal mencetak gol melalui tendangan penalti. Kegagalan ini bahkan dialami bintang-bintang sepakbola kelas dunia, semisal Franco Baresi dan Roberto Baggio. Mengapa demikian?
Jawabannya terletak pada faktor psikologis. Dalam adu penalti, penendang memiliki beban lebih berat dibanding penjaga gawang. Ibaratnya, ia seperti bekerja di bawah todongan senjata.  Kegagalan mengeksekusi tendangan penalti seringkali menjadi penentu kekalahan tim. Selanjutnya bia ditebak: ia menjadi kambing hitam. Inilah yang dialami  Roberto Baggio saat Italia menghadapi Brasil di final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat (AS). Kegagalan Baggio memasukkan bola ke gawang Brasil dalam drama adu penalti mengakibatkan Italia harus puas sebagai Runner-up. Kondisi sebaliknya dialami oleh penjaga gawang, bila berhasil menggagalkan tendangan penalti, ia akan dielu-elukan sebagai pahlawan.
Jadi faktor psikologislah, dan bukannya keberuntungan, yang menjadi penentu utama kemenangan sebuah tim dalam adu penalti.