Piala Afrika 2013 di Afrika Selatan telah
berakhir lebih dari satu bulan yang lalu. Nigeria keluar sebagai juara setelah
di pertandingan final mengalahkan Burkina Faso dengan skor 1-0. Melajunya Burkina Faso hingga pertandingan puncak cukup
mengejutkan. Pasalnya, prestasi tim ini kurang menonjol dibanding negara-negara Afrika lainnya.
Dua tim yang lebih difavoritkan,
Afrika Selatan dan Ghana, tersingkir setelah kalah dalam adu penalti.
Afrika selatan dikalahkan Mali di babak perempat final, sementara Ghana
dikandaskan Burkina Faso di babak semi final.
Dalam pertandingan dengan sistem
gugur, adu penalti menjadi penentu pemenang pertandingan apabila kedua tim
hanya mampu bermain imbang kendati setelah perpanjangan waktu berakhir. Kritik yang sering terlontar: kemenangan melalui adu penalti lebih banyak disebabkan faktor keberuntungan.
Badan tertinggi sepakbola internasional, FIFA, pernah mencoba menjawab kritik
ini dengan aturan gol emas (golden goal)
atau gol perak (silver goal).
Tujuannya agar kedua tim berani tampil lebih menyerang. Yang
terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menyerang, kedua tim justru cenderung
bermain lebih defensif agar tidak kebobolan. Maklum, berdasarkan aturan golden goal, siapa yang mencetak gol lebih dulu langsung ditetapkan sebagai pemenang. Kebobolan berarti kiamat. Akibatnya,
permainan menjadi tidak menarik dinikmati. Agaknya, karena alasan inilah
akhirnya aturan golden goal dan silver goal tidak lagi diberlakukan
Kembali kepada soal adu penalti, benarkah kemenangan sebuah tim semata-mata karena faktor keberuntungan? Ternyata tidak demikian. Agar tendangan penalti dapat menghasilkan gol, ada dua hal yang harus diperhatikan: arah tendangan dan kecepatan bola melesat ke dalam gawang. Keduanya harus ada karena bila tidak bola dapat dengan mudah dimentahkan penjaga gawang. Kemungkinan lainnya, arah bola melambong, melebar, atau membentur tiang gawang.
Kembali kepada soal adu penalti, benarkah kemenangan sebuah tim semata-mata karena faktor keberuntungan? Ternyata tidak demikian. Agar tendangan penalti dapat menghasilkan gol, ada dua hal yang harus diperhatikan: arah tendangan dan kecepatan bola melesat ke dalam gawang. Keduanya harus ada karena bila tidak bola dapat dengan mudah dimentahkan penjaga gawang. Kemungkinan lainnya, arah bola melambong, melebar, atau membentur tiang gawang.
Berdasarkan perhitungan matematis,
ada daerah-daerah di gawang yang jika bola diarahkan ke daerah-daerah itu tidak
ada satu penjaga gawangpun yang dapat menjangkaunya. Namun arah yang tepat ini
harus diimbangi dengan tendangan yang bertenaga. Jika tidak, gol tidak akan
tercipta.
Ingatan penulis lantas melayang ke
pertandingan final Piala Dunia tahun 1990 antara Argentina melawan Jerman Barat
(Jerbar). Kala itu, Jerbar keluar sebagai juara setelah menang dengan skor 1-0. Satu-satunya gol
dicetak oleh Andreas Brehme melalui titik penalti. Penulis terkesan dengan cara
Brehme mengeksekusi penalti. Bola diarahkan ke titik yang tidak mungkin
dijangkau oleh penjaga gawang Argentina saat itu, Sergio Goycochea. Tendangan dilakukan cukup keras. Untuk diketahui, Goycochea, yang menggantikan Nery
Pumpido yang cedera, dikenal sebagai penyelamat tendangan penalti. Ia dua kali menjadi pahlawan Argentina dalam
adu penalti saat mengalahkan Yugoslavia dan Italia, masing-masing di babak
perempat final dan semi final Piala Dunia 1990.
Jika mengacu kepada perhitungan
matematis seperti di atas, mestinya tidak sulit mencetak gol melalui
tendangan penalti. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam waktu normal,
hadiah penalti menjadi peluang terbaik untuk mencetak gol. Kenyataannya, masih
banyak yang gagal mencetak gol melalui tendangan penalti. Kegagalan ini bahkan
dialami bintang-bintang sepakbola kelas dunia, semisal Franco Baresi
dan Roberto Baggio. Mengapa demikian?
Jawabannya terletak pada faktor
psikologis. Dalam adu penalti, penendang memiliki beban lebih berat
dibanding penjaga gawang. Ibaratnya, ia seperti bekerja di bawah todongan
senjata. Kegagalan mengeksekusi
tendangan penalti seringkali menjadi penentu kekalahan tim. Selanjutnya bia
ditebak: ia menjadi kambing hitam. Inilah yang dialami Roberto
Baggio saat Italia menghadapi Brasil di final Piala Dunia 1994 di
Amerika Serikat (AS). Kegagalan Baggio memasukkan bola ke gawang Brasil dalam
drama adu penalti mengakibatkan Italia harus puas sebagai Runner-up. Kondisi sebaliknya dialami oleh penjaga gawang, bila
berhasil menggagalkan tendangan penalti, ia akan dielu-elukan sebagai pahlawan.
Jadi faktor psikologislah, dan bukannya keberuntungan, yang menjadi penentu utama kemenangan sebuah tim dalam adu penalti.
Jadi faktor psikologislah, dan bukannya keberuntungan, yang menjadi penentu utama kemenangan sebuah tim dalam adu penalti.