Selasa, 27 Oktober 2015

Ingin Bahagia: Jangan Kaya dan Bekerja Keras?



Almarhum DR. APJ Abdul Kalam, mantan Presiden India yang dijuluki “presiden rakyat”, pernah mengatakan bahwa seseorang boleh saja mencintai pekerjaannya. Meski demikian, jangan berlebihan mencintai perusahaan tempat Anda bekerja. Alasannya?Anda tidak pernah akan tahu kapan perusahaan akan berhenti mencintai Anda.
Lebih lanjut, Abdul Kalam menenkankan pentingnya seseorang untuk pulang tepat waktu sehabis bekerja. Barangkali ini nasihat yang tidak lazim. Biasanya, orang dinasihati untuk datang kerja tepat waktu. Kembali lagi, apa alasannya?Pertama, pekerjaan sejatinya tidak akan pernah selesai. Jika kita bertahan di tempat kerja dengan alasan pekerjaan belum selesai, lantas apakah kita tidak pernah pulang?Kecuali tentu saja jika ada pekerjaan yang mendesak untuk diselesaikan secepatnya. Namun ini tentu tidak mungkin berlangsung setiap hari. Kedua, pelanggan memang harus dipentingkan. Namun demikian pula halnya dengan keluarga. Ketiga, hidup bukanlah sekedar berkutat pada pelanggan, kantor, dan pekerjaan. Namun ada yang lebih penting. Kita juga membutuhkan waktu untuk menghibur diri, bersosialisasi, bersantai, dan berolahraga. Jangan pernah hidup tanpa makna. Keempat, jika Anda gagal dalam hidup, bukan bos atau klien anda yang akan membantu anda, melainkan teman-teman atau keluarga anda. Kelima, seseorang yang bekerja di kantor hingga larut malam sejatinya bukanlah pekerja keras, melainkan seseorang yang tidak tahun caranya mengelola waktu. Keenam, tujuan kita belajar dan bekerja keras bukanlah untuk menjadi layaknya sebuah mesin, melainkan menjadi manusia yang bermartabat. Dan ketujuh, jika bos Anda terlalu sering meminta anda bekerja hingga larut malam, jangan-jangan ia bukanlah orang yang efektif dan tak munya makna dalam hidupnya.
Apa yang ditekankan oleh Abdul Kalam di atas sejatinya mirip dengan konsep keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi atau work life balance. Intinya, seseorang hendaknya tidak hanya memikirkan pekerjaan dan kariernya, melainkan juga kehidupan di luar pekerjaan seprti hiburan, teman, dan keluarga.
Banyak orang yakin work life balance akan membawa kebahagiaan.  Namun cukupkah?Penulis teringat dengan sebuah cerita yang pernah penulis baca. Cerita seorang ibu yang remuk hatinya setelah membaca buku harian yang ditulis oleh anak bungsunya.  Dalam buku hariannya, si bungsu mengungkapkan kerinduannya kepada bibi pembantu rumah tangga. Sang bibi telah tiada karena sakit. Selama bekerja di rumah majikan sang anak, si bibi menjalankan perannya bukan saja sebagai pembantu rumah tangga melainkan juga sebagai sahabat sekaligus “ibu kedua” bagi anak majikannya, melebihi ibu kandungnya sendiri.
Si ibu adalah seorang wanita karier yang sukses menduduki posisi eksekutif puncak sebuah perusahaan multinasional. Berkat kesuksesannya, ia memiliki uang berlimpah, rumah mewah, mobil bagus, dan mampu menyekolahkan anaknya di sekolah favorit. Kebutuhan material sang anak nyaris tidak ada yang tidak bisa ia penuhi.  Namun sebagai seorang eksekutif puncak, kesibukannya tentu luar biasa. Akibatnya, ia sering pergi berhari-hari sehingga kebutuhan emosional anaknya terlupakan.
Sebelum kehilangan sang bibi, si bungsu lebih dulu kehilangan kakaknya, yang meninggal akibat kecelakaan (versi lain si kakak mengalami cacat permanen, ada juga yang mengatakan si kakak terjerumus ke dalam pemakaian narkoba). Si bungsu sendiri akhirnya meninggal karena tak kuat menanggung beban kesedihan.
Sang ibu dalam kisah di atas agaknya menganggap uang dan jabatan sebagai sumber kebahagiaan. Seolah-olah kalau sudah kaya dan berpangkat tinggi, bahagia akan datang. Namun setelah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya, apakah ia akan bahagia meski dikelilingi harta berlimpah serta menduduki posisi mentereng?
Banyak yang menganggap orang yang kekayaannya melimpah dan kariernya melesat adalah lebih sukses ketimbang orang sebaliknya. Namun bagaimana dengan orang yang  memiliki integritas tinggi, bertakwa kepada Tuhan, mengabdi pada orang tua, berhasil membina keluarga yang harmonis, dan memiliki anak saleh?Bukankah itu prestasi? Agama tidak pernah melarang seseorang untuk menjadi kaya pintar, dan berpangkat. Bahkan sebalinya. Agama memerintahkan kita untuk bekerja keras agar kita menjadi manusia berkecukupan. Namun kekayaan dan pangkat hanyalah sarana yang wajib digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kekayaan dan pangkat tidak boleh dijadikan berhala.
Sebagai penutup marilah kita ingat tujuh kunci kebahagiaan menurut Ibnu Abbas ra, sahabat Nabi Muhammad SAW. Menurut Ibnu Abbas, kunci-kunci kebahagiaan adalah hati yang selalu bersyukur, pasangan hidup yang saleh, anak yang saleh, lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembangnya iman, semangat untuk mendalami agama, harta yang halal, dan umur yang berkah.