Almarhum
DR. APJ Abdul Kalam, mantan Presiden India yang dijuluki “presiden rakyat”,
pernah mengatakan bahwa seseorang boleh saja mencintai pekerjaannya. Meski
demikian, jangan berlebihan mencintai perusahaan tempat Anda bekerja.
Alasannya?Anda tidak pernah akan tahu kapan perusahaan akan berhenti mencintai
Anda.
Lebih
lanjut, Abdul Kalam menenkankan pentingnya seseorang untuk pulang tepat waktu
sehabis bekerja. Barangkali ini nasihat yang tidak lazim. Biasanya, orang
dinasihati untuk datang kerja tepat waktu. Kembali lagi, apa alasannya?Pertama,
pekerjaan sejatinya tidak akan pernah selesai. Jika kita bertahan di tempat
kerja dengan alasan pekerjaan belum selesai, lantas apakah kita tidak pernah
pulang?Kecuali tentu saja jika ada pekerjaan yang mendesak untuk diselesaikan
secepatnya. Namun ini tentu tidak mungkin berlangsung setiap hari. Kedua,
pelanggan memang harus dipentingkan. Namun demikian pula halnya dengan
keluarga. Ketiga, hidup bukanlah sekedar berkutat pada pelanggan, kantor, dan
pekerjaan. Namun ada yang lebih penting. Kita juga membutuhkan waktu untuk
menghibur diri, bersosialisasi, bersantai, dan berolahraga. Jangan pernah hidup
tanpa makna. Keempat, jika Anda gagal dalam hidup, bukan bos atau klien anda
yang akan membantu anda, melainkan teman-teman atau keluarga anda. Kelima,
seseorang yang bekerja di kantor hingga larut malam sejatinya bukanlah pekerja
keras, melainkan seseorang yang tidak tahun caranya mengelola waktu. Keenam,
tujuan kita belajar dan bekerja keras bukanlah untuk menjadi layaknya sebuah
mesin, melainkan menjadi manusia yang bermartabat. Dan ketujuh, jika bos Anda
terlalu sering meminta anda bekerja hingga larut malam, jangan-jangan ia
bukanlah orang yang efektif dan tak munya makna dalam hidupnya.
Apa
yang ditekankan oleh Abdul Kalam di atas sejatinya mirip dengan konsep
keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi atau work life balance. Intinya, seseorang
hendaknya tidak hanya memikirkan pekerjaan dan kariernya, melainkan juga
kehidupan di luar pekerjaan seprti hiburan, teman, dan keluarga.
Banyak
orang yakin work life balance akan
membawa kebahagiaan. Namun
cukupkah?Penulis teringat dengan sebuah cerita yang pernah penulis baca. Cerita
seorang ibu yang remuk hatinya setelah membaca buku harian yang ditulis oleh
anak bungsunya. Dalam buku hariannya, si
bungsu mengungkapkan kerinduannya kepada bibi pembantu rumah tangga. Sang bibi
telah tiada karena sakit. Selama bekerja di rumah majikan sang anak, si bibi
menjalankan perannya bukan saja sebagai pembantu rumah tangga melainkan juga
sebagai sahabat sekaligus “ibu kedua” bagi anak majikannya, melebihi ibu
kandungnya sendiri.
Si
ibu adalah seorang wanita karier yang sukses menduduki posisi eksekutif puncak
sebuah perusahaan multinasional. Berkat kesuksesannya, ia memiliki uang
berlimpah, rumah mewah, mobil bagus, dan mampu menyekolahkan anaknya di sekolah
favorit. Kebutuhan material sang anak nyaris tidak ada yang tidak bisa ia
penuhi. Namun sebagai seorang eksekutif
puncak, kesibukannya tentu luar biasa. Akibatnya, ia sering pergi berhari-hari
sehingga kebutuhan emosional anaknya terlupakan.
Sebelum
kehilangan sang bibi, si bungsu lebih dulu kehilangan kakaknya, yang meninggal
akibat kecelakaan (versi lain si kakak mengalami cacat permanen, ada juga yang
mengatakan si kakak terjerumus ke dalam pemakaian narkoba). Si bungsu sendiri
akhirnya meninggal karena tak kuat menanggung beban kesedihan.
Sang
ibu dalam kisah di atas agaknya menganggap uang dan jabatan sebagai sumber
kebahagiaan. Seolah-olah kalau sudah kaya dan berpangkat tinggi, bahagia akan datang.
Namun setelah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya, apakah ia akan bahagia
meski dikelilingi harta berlimpah serta menduduki posisi mentereng?
Banyak
yang menganggap orang yang kekayaannya melimpah dan kariernya melesat adalah lebih
sukses ketimbang orang sebaliknya. Namun bagaimana dengan orang yang memiliki integritas tinggi, bertakwa kepada
Tuhan, mengabdi pada orang tua, berhasil membina keluarga yang harmonis, dan
memiliki anak saleh?Bukankah itu prestasi? Agama tidak pernah melarang
seseorang untuk menjadi kaya pintar, dan berpangkat. Bahkan sebalinya. Agama
memerintahkan kita untuk bekerja keras agar kita menjadi manusia berkecukupan. Namun
kekayaan dan pangkat hanyalah sarana yang wajib digunakan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Kekayaan dan pangkat tidak boleh dijadikan berhala.
Sebagai
penutup marilah kita ingat tujuh kunci kebahagiaan menurut Ibnu Abbas ra,
sahabat Nabi Muhammad SAW. Menurut Ibnu Abbas, kunci-kunci kebahagiaan adalah
hati yang selalu bersyukur, pasangan hidup yang saleh, anak yang saleh,
lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembangnya iman, semangat untuk mendalami
agama, harta yang halal, dan umur yang berkah.