“Mau
pesan isi berapa?”
“Sory
baru balas”
“Isi
15 aja”
“Tulisannya
“Merry Xmas mama Tisya”
“Mohon
maaf. Kami tidak bisa melayani ucapan natal”
Itu
adalah dialog pesan singkat antara Tyok Aditya Setyo dengan Toko Donat Mungil
Malang. Tyok kemudian menempelkan dialog tersebut di dinding akun Facebook
miliknya. Inti percakapan tersebut adalah: Donat mungil menolak permintaan Tyok
untuk menuliskan ucapan selamat natal pada donat yang dipesannya.
Segera
saja sikap Donat Mungil ini ramai menjadi bahan perbincangan pengguna internet.
Banyak yang menghujat kebijakan ini. Donat Mungil pun ramai-ramai dirundung di
media sosial. Munculah tulisan-tulisan seperti, “Fanatik amat sih...",
"Ganti jeneng ae Donat Islam Ekstrimis", dan "utek e cekak wong
si dodol". Donat Mungil
dianggap tidak toleran karena tidak mau menuliskan ucapan Selamat Natal sesuai
keinginan pemesan.
Namun
tak sedikit pula yang membela. Di antaranya adalah pengurus Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Luthfi Bashori. Menurut Luthfi, seperti dikutip
www.hidayatullah.com,
apa yang dilakukan oleh pemilik toko sudah sesuai dengan tuntunan Islam. Lagi
pula, menurut Kiai Luthfi, keputusan pemilik Donat Mungil merupakan hak
individu dalam bermuamalah berdasarkan tuntunan agama yang dianut.
Menanggapi
kebijakan yang kontroversial ini, Putri Priyanti, pemilik Donat Mungil,
mengatakan bahwa hal itu ia lakukan murni karena keyakinan dirinya sebagai
seorang Muslim. Menghadapi kritikan dan cacian yang diterimanya, ia mengatakan
mengambil hal positifnya saja. Ia pun tak takut omzet penjualan usaha miliknya
akan turun.
Tidak.
Penulis tidak akan mengulas masalah hukum mengucapkan selamat natal dalam
tulisan ini. Tentu ada yang lebih
berkompeten dan terpercaya melakukannya, yaitu orang-orang yang memiliki
pengetahuan mendalam dan hati yang bersih. Silakan baca diskusi tentang masalah
ini di tempat lain. Tak sulit menemukannya.
Bagi
penulis, apa yang dilakukan oleh pemilik Donat Mungil adalah cerminan dari
nilai yang dianutnya. Dalam kaitannya dengan budaya sebuah organisasi,
nilai-nilai pribadi yang digenggam pemilik atau pemimpin kerap terejawantahkan
dalam sikap, tingkah laku, dan kebijakannya terhadap organisasi. Nilai-nilai
ini akan menjadi panduan dalam menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, pantas dan tidak pantas dikerjakan. Nilai-nilai ini berbeda bagi
masing-masing individu dan organisasi. Pepatah “lain padang, lain belalang”
berlaku di sini. Jadi, penolakan pemilik Donat Mungil untuk menuliskan ucapan
Selamat Natal pada kue yang dipesan pelanggannya berakar dari nilai pribadi
yang menekankan betapa pentingnya menjaga akidah atau keyakinan pokok Islam.
Jangan sampai ada hal-hal sekecil apapun, yang menodai keyakinan pokok ini. Namun
nilai ini kerap tidak berlaku bagi orang lain. Tentu kita banyak menjumpai
produsen yang tidak berkeberatan menerima pesanan bertulisan ucapan selamat
natal, meski pemiliknya seorang Muslim. Bagi para pedagang ini, sah-sah saja
menerima pesanan yang demikian.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah kebijakan yang dinilai kontroversial oleh sebagian orang ini
akan mampu menarik minat pembeli, khususnya kalangan muslim? Ini yang masih
harus dibuktikan. Pemilik Donat Mungil boleh saja berkeyakinan donat yang
dijualnya akan tetap laku. Namun semata-mata mengandalkan sentimen keagamaan rasanya
absurd. Pasalnya, begitu banyak produsen donat di negeri ini, mulai dari skala
raksasai hingga liliput. Banyak dari mereka yang meski tidak menonjolkan simbol-simbol
agama, namun menjajakan produk halal, baik zatnya, perolehannya, pengolahannya,
hingga penyajiannya. Jika tidak puas dengan Donat Mungil, tentu mereka akan
berpaling ke toko lain.
Oleh
karenanya, di samping mengandalkan simbol suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),
nilai-nilai bisnis yang universal semisal pelayanan prima pada pelanggan,
kualitas produk, kebersihan, kesejahteraan karyawan, dan kejujuran wajib
diterapkan. Tanpa itu semua, cepat atau lambat perusahaan akan ditinggalkan
oleh pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar