Selasa, 25 Oktober 2016

Kontroversi "Si Anjing Panas"

Ingin meraih sertifikat halal? Jika anda penjual hot dog, ubah nama produk Anda. Jangan namai dengan hot dog. Demikian instruksi Jabatan Kemajuan Islam Malaysia atau JAKIM, Majelis Ulama atau MUI-nya Malaysia. Alasannya? Wisatawan muslim kebingungan. Anjing adalah hewan najis, jadi tidak layak dijadikan nama makanan. Demikian kurang lebih dikatakan Sirajuddin Suhaimee, Direktur Divisi Halal Jakim,
Ini kejadian kedua dalam waktu yang berdekatan. Sebelumnya, Auntie Anne gagal mengantungi sertifikat halal lantaran salah satu produknya ada yang bernama Pretzel Dog. Menurut SUhaimee, lebih baik nama pretzel dog diganti menjadi pretzel Sausage.
Sontak, keputusan Jakim tersebut menuai kontroversi. Nazri Aziz, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Malaysia, termasuk yang mempertanyakan keputusan Jakim itu. Menurutnya, nama hot dog sudah akrab di telinga masyarakat Malaysia. Dalam bahasa Malaysia, selalu disebut demikian, tidak ada padanan atau penggantinya. Nama hot dog jelas berasal dari bahasa Inggris.  Dirinya sama sekali tidak merasa terhina atau tersinggung. Mengutip situs www.bbc.com, sebagian warga Malaysia paham bahwa "hot dog" dan produk-produk lain seperti "root beer" tidak mengandung anjing atau bir.
Sejarah hot dog
Ada baiknya kita menengok sejarah “si anjing panas” ini, yang penulis ringkas dari http://intisari-online.com. Cerita bermula tahun 1852. Waktu itu, serikat penghasil sosii di kota Frankfurt, Jerman, membuat sosis jenis baru. Bentuknya panjang dan langsing, tidak besar dan gemuk seperti biasanya. Sarungnya tipis hampir tembus pandang. Isinya daging cincang yang diberi banyak rempah-rempah lalu diasapi. Seorang di antara pembuat sosis itu memiliki seekor dachshund (anjing tekel) yang sangat disayanginya. la menganjurkan teman-temannya agar sosis mereka dibengkokkan sedikit, seperti tubuh anjing tekel. Pasti orang suka, karena lucu, katanya.
Cerita berlanjut di tempat lain. Tahun 1880-an, di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, Antoine Feuchtwanger seorang Jerman yang berasal dari Frankfurt, berjualan sosis anjing tekel. Sosis itu laris, tapi namanya sulit diucapkan lidah Amerika. Untuk mudahnya, ada yang menyebutnya frank(s), wiener, dan lauvlain. Sementara itu, di Pulau Coney, Amerika Serikat, Charles Feltman yang berasal dari Frankfurt pula, menjajakan piedengan kereta dorong. Ketika penginapan-penginapan menyediakan makanan panas, orang lebih menyukainya daripada pie. Feltman kehilangan pelanggan.
Feltman kemudian berjualan sosis anjing tekel panas yang dijepit roti supaya tidak perlu piring. Sosis itu diberi moster serta asinan kol supaya lebih merangsang selera. Untuk memanaskan sosisnya, ia cuma perlu anglo kecil dan panci. Dagangannya dinamai "Frankfurter Sandwiches" dan ternyata laku keras. Feltman sampai bisa membuka restoran, " Feltman's German Beer Garden" di tepi pantai tempat pesiar.
Mentang-mentang laku, harga franks-nya dinaikkan terus. Dua penggemar franks bernama Eddie Cantor dan Jimmy Durante menjadi kesal. Mereka  menganjurkan pembantu Feltman, Nathan Handwerker, untuk berhenti dan berjualan franks sendiri dengan harga setengahnya. Mulai tahun 1916, Nathan berjualan franks buatan istrinya, Ida. Ternyata, para dokter menyukainya. Orang-orang lain pun tertarik. Sosis dijepit roti semakin populer.

Di New York City, seorang pengusaha franks bernama Harry Stevens menyuruh karyawannya menjajakan franks di setiap pertandingan baseball sambil berteriak-teriak, "Red-hot dachshund sausages! (Sosis anjing tekel yang merah dan panas)."

Suatu hari, seorang pelukis kartun temama, Ted Dorgan, menyaksikan penjaja itu berteriak-teriak. la lantas mendapat ilham untuk menggambar seekor anjing tekel yang berlumur moster, dijepit dengan roti. Karena dachshund sulit diucapkan kebanyakan orang Amerika, gambar itu diberinya nama hot dog, anjing panas. Gambar itu dimuat di pelbagai media. Pembaca menganggapnya lucu. Sebutan hot dog pun menjadi terkenal.
Mengapa Baru Sekarang?
Jika sejarah di atas dapat dipercaya, jelaslah nama hot dog tidak ada hubungannya sama sekali dengan daging anjing. Lalu apakah alasan wisatawan muslim yang bingung masuk akal? Sayang sekali hal ini tidak dijabarkan lebih detail. Wisatawan muslim dari mana yang bingung? Berapa jumlahnya? Bagaimana kesimpulan ini bisa ditarik, apakah melalui wawancara, survei, atau yang lainnya? Jika memang benar mereka bingung, apakah mereka  akan langsung paham dan setuju dengan penamaan hot dog?
Berikutnya soal anjing tidak layak dijadikan nama makanan. Memang Islam mengajarkan agar jika menamai sesuatu, maka namailah dengan nama yang baik. Pertanyaannya, mengapa pihak Jakim baru bereaksi sekarang? Bukankah nama hot dog sudah lama dikenal. Apakah Jakim telah menyadari kekeliruannya, membiarkan anjing menjadi nama makanan?
Penulis bukannya bermaksud untuk apriori, hanya sekedar mencari jawaban. Barangkali penulis memang masih harus belajar banyak tentang ajaran agama. /


Tidak ada komentar:

Posting Komentar