Selasa, 25 Oktober 2016

Kontroversi "Si Anjing Panas"

Ingin meraih sertifikat halal? Jika anda penjual hot dog, ubah nama produk Anda. Jangan namai dengan hot dog. Demikian instruksi Jabatan Kemajuan Islam Malaysia atau JAKIM, Majelis Ulama atau MUI-nya Malaysia. Alasannya? Wisatawan muslim kebingungan. Anjing adalah hewan najis, jadi tidak layak dijadikan nama makanan. Demikian kurang lebih dikatakan Sirajuddin Suhaimee, Direktur Divisi Halal Jakim,
Ini kejadian kedua dalam waktu yang berdekatan. Sebelumnya, Auntie Anne gagal mengantungi sertifikat halal lantaran salah satu produknya ada yang bernama Pretzel Dog. Menurut SUhaimee, lebih baik nama pretzel dog diganti menjadi pretzel Sausage.
Sontak, keputusan Jakim tersebut menuai kontroversi. Nazri Aziz, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Malaysia, termasuk yang mempertanyakan keputusan Jakim itu. Menurutnya, nama hot dog sudah akrab di telinga masyarakat Malaysia. Dalam bahasa Malaysia, selalu disebut demikian, tidak ada padanan atau penggantinya. Nama hot dog jelas berasal dari bahasa Inggris.  Dirinya sama sekali tidak merasa terhina atau tersinggung. Mengutip situs www.bbc.com, sebagian warga Malaysia paham bahwa "hot dog" dan produk-produk lain seperti "root beer" tidak mengandung anjing atau bir.
Sejarah hot dog
Ada baiknya kita menengok sejarah “si anjing panas” ini, yang penulis ringkas dari http://intisari-online.com. Cerita bermula tahun 1852. Waktu itu, serikat penghasil sosii di kota Frankfurt, Jerman, membuat sosis jenis baru. Bentuknya panjang dan langsing, tidak besar dan gemuk seperti biasanya. Sarungnya tipis hampir tembus pandang. Isinya daging cincang yang diberi banyak rempah-rempah lalu diasapi. Seorang di antara pembuat sosis itu memiliki seekor dachshund (anjing tekel) yang sangat disayanginya. la menganjurkan teman-temannya agar sosis mereka dibengkokkan sedikit, seperti tubuh anjing tekel. Pasti orang suka, karena lucu, katanya.
Cerita berlanjut di tempat lain. Tahun 1880-an, di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, Antoine Feuchtwanger seorang Jerman yang berasal dari Frankfurt, berjualan sosis anjing tekel. Sosis itu laris, tapi namanya sulit diucapkan lidah Amerika. Untuk mudahnya, ada yang menyebutnya frank(s), wiener, dan lauvlain. Sementara itu, di Pulau Coney, Amerika Serikat, Charles Feltman yang berasal dari Frankfurt pula, menjajakan piedengan kereta dorong. Ketika penginapan-penginapan menyediakan makanan panas, orang lebih menyukainya daripada pie. Feltman kehilangan pelanggan.
Feltman kemudian berjualan sosis anjing tekel panas yang dijepit roti supaya tidak perlu piring. Sosis itu diberi moster serta asinan kol supaya lebih merangsang selera. Untuk memanaskan sosisnya, ia cuma perlu anglo kecil dan panci. Dagangannya dinamai "Frankfurter Sandwiches" dan ternyata laku keras. Feltman sampai bisa membuka restoran, " Feltman's German Beer Garden" di tepi pantai tempat pesiar.
Mentang-mentang laku, harga franks-nya dinaikkan terus. Dua penggemar franks bernama Eddie Cantor dan Jimmy Durante menjadi kesal. Mereka  menganjurkan pembantu Feltman, Nathan Handwerker, untuk berhenti dan berjualan franks sendiri dengan harga setengahnya. Mulai tahun 1916, Nathan berjualan franks buatan istrinya, Ida. Ternyata, para dokter menyukainya. Orang-orang lain pun tertarik. Sosis dijepit roti semakin populer.

Di New York City, seorang pengusaha franks bernama Harry Stevens menyuruh karyawannya menjajakan franks di setiap pertandingan baseball sambil berteriak-teriak, "Red-hot dachshund sausages! (Sosis anjing tekel yang merah dan panas)."

Suatu hari, seorang pelukis kartun temama, Ted Dorgan, menyaksikan penjaja itu berteriak-teriak. la lantas mendapat ilham untuk menggambar seekor anjing tekel yang berlumur moster, dijepit dengan roti. Karena dachshund sulit diucapkan kebanyakan orang Amerika, gambar itu diberinya nama hot dog, anjing panas. Gambar itu dimuat di pelbagai media. Pembaca menganggapnya lucu. Sebutan hot dog pun menjadi terkenal.
Mengapa Baru Sekarang?
Jika sejarah di atas dapat dipercaya, jelaslah nama hot dog tidak ada hubungannya sama sekali dengan daging anjing. Lalu apakah alasan wisatawan muslim yang bingung masuk akal? Sayang sekali hal ini tidak dijabarkan lebih detail. Wisatawan muslim dari mana yang bingung? Berapa jumlahnya? Bagaimana kesimpulan ini bisa ditarik, apakah melalui wawancara, survei, atau yang lainnya? Jika memang benar mereka bingung, apakah mereka  akan langsung paham dan setuju dengan penamaan hot dog?
Berikutnya soal anjing tidak layak dijadikan nama makanan. Memang Islam mengajarkan agar jika menamai sesuatu, maka namailah dengan nama yang baik. Pertanyaannya, mengapa pihak Jakim baru bereaksi sekarang? Bukankah nama hot dog sudah lama dikenal. Apakah Jakim telah menyadari kekeliruannya, membiarkan anjing menjadi nama makanan?
Penulis bukannya bermaksud untuk apriori, hanya sekedar mencari jawaban. Barangkali penulis memang masih harus belajar banyak tentang ajaran agama. /


Senin, 20 Juni 2016

Agar Tak Jadi Pengantar Tidur



Di luar bulan Puasa, waktu istirahat biasanya dimanfaatkan untuk makan siang. Namun, hal ini tentu tidak bisa dilakukan di bulan Ramadhan. Untuk mengisi waktu istirahat, banyak gedung perkantoran mengadakan acara salat zuhur berjamaah, dilanjutkan dengan ceramah ramadhan. Biasanya, orang berbondong-bondong mendatangi lokasi salat dan ceramah tersebut. Gedung tempat penulis berkantor tak ketinggalan.
Yang menggelikan, banyak orang yang datang ke tempat salat bukan untuk mendengarkan ceramah, melainkan untuk tidur. Mereka merebahkan diri di atas karpet-karpet yang digelar.  Maklumlah di bulan puasa, kita kerap merasa mengantuk lantaran waktu tidur berkurang. Bagaimana tidak?Kita harus bangun lebih pagi untuk sahur. Dan selepas sahur, biasanya kita sulit untuk tidur kembali.
Rupanya, ada penyelenggara yang tidak senang dengan fenomena orang tidur di tempat salat ini. Apalagi jika si penceramah sedang berbicara. Maka cara untuk menyiasati agar orang-orang tidak seenaknya merebahkan diri adalah dengan cara mengurangi jumlah karpet yang digelar. Dengan demikian, ruang untuk menggeletakkan diri menjadi lebih sempit.
Apakah sikap sebagian orang yang tidur di tempat salat ini bisa dibenarkan, apatah lagi seorang penceramah sedang hadir dan memberikan ceramah di situ?Secara moral dan etika, jawabannya memang tidak. Banyak informasi dan inspirasi yang dapat diresapi dari wejangan-wejangan agama yang kita dengar.
 Namun, apakah para penyelenggara salat berjamaah ini berhak memaksa mereka yang hadir untuk duduk tegak seraya mendengarkan ceramah? Seyogianya ini tidak dilakukan. Ceramah adalah bagian dari berdakwah, dan berdakwah tidak boleh dengan paksaan. Yang dapat dilakukan adalah si penceramah harus menyampaikan ceramahnya dengan cara yang menarik sehingga jamaah rela mengorbankan waktu tidurnya dan mendengarkan ceramah hingga selesai. Inilah yang harus berusaha dihadirkan oleh sang penyelenggara acara. Dan inilah yang dialami penulis saat menghadiri salah satu sesi acara kegiatan Ramadhan. Penulis kerap mendengar penonton meledak tawanya saat si penceramah sedang memberikan wejangannya. Suasana menjadi lebih hangat dan ramai.
Lantas bagaimana agar ceramah yang disampaikan menjadi menarik sehingga jamaah bersedia untuk tetap terjaga meski rasa kantuk menyergap?Pertama-tama, tentu harus dirumuskan tema dan tujuan ceramah. Tema dalam agama Islam sangat luas, mulai dari akidah, syariat, dan akhlak. Tentu ini harus dipersempit lagi. Apakah akan berbicara tentang iman kepada hari akhir, hubungan dengan non muslim, salat, puasa, haji, dan sebagainya. Setelah tema ditentukan, berikutnya ditentukan tujuan ceramah. Secara umum, tujuan ceramah adalah menginformasikan (sifatnya informatif) dan mengilhami (sifatnya inspiratif). Contoh ceramah yang informatif adalah ceramah tentang pentingnya menjalankan hukum waris dalam Islam. Setelah mendengarkan ceramah ini, audiensi menjadi pahan tentang pentingnya hukum waris serta ancaman bagi orang-orang yang meremehkannya. Tujuan ceramah informatif adalah menyampaikan hal-hal yang baru bagi audiensi atau membuat audiensi yang semula tahu hanya sedikit menjadi tahu lebih banyak. Dalam soal hukum waris, banyak umat Islam yang belum paham tentang pentingnya kewajiban menegakkannya meski boleh jadi mereka sudah tahu secara sekilan tentang perkara ini.   Sedangkan ceramah inspiratif misalnya ceramah yang mengajak orang-orang agar tetap semangat berpuasa mengingat begitu banyaknya manfaat yang bakal diraih./
Setelah tujuan dan tema, berikutnya adalah cara penyampaian, yang terdiri dari unsur-unsur bahasa tubuh dan teknik vokal. Penulis pernah melihat seorang penceramah yang menghampiri dan berjalan mengelilingi penonton saat berceramah. Cara ini, di samping agar lebih dekat dengan penunton, bertujuan agar penonton memusatkan perhatian kepada si pembicara. Cara ini juga membuat penonton lebih siaga. Siapa tahun si penceramah mengajak mereka berdialog secara lebih personal. Sedangkan teknik vokal terdiri dari nada suara, kecepatan berbicara, dan jeda. Nada suara saat menggambarkan kemarahan tentu berbeda dengan saat membayangkan kengerian siksa neraka. Juga berbeda saat mengajak kita untuk selalu optimistis akan ampunan Tuhan.
Jadi agar acara ceramah Ramadhan tidak jadi pengantar tidur, penceramah harus pandai-pandai menentukan tema dan tujuan ceramah serta memiliki bahasa tubuh dan olah vokal yang yahud.


Jumat, 25 Maret 2016

Mengundurkan Diri



Jumat petang. Penulis akan meninggalkan gedung tempat penulis berkantor. Saat itu lepas magrib. Salat Magrib telah penulis tunaikan. Kantong dirogoh, aplikasi Gojek dibuka, Gojek dipesan.
Awalnya semuanya berjalan lancar. Penulis duduk di belakang supir seraya menikmati pemandangan di sebelah kanan dan kiri. Cuaca pun cerah.
Tiba-tiba, mendadak motor berhenti. Si supir memeriksa sebentar. Ternyata, radiator sepeda motor mengalami masalah sehingga motor tidak lagi dapat berfungsi. Untungnya, si supir baik hati. Ia menggratiskan tarif seraya mempersilakan saya untuk memesan Gojek lain.
Peristiwa itu terjadi di sebuah kawasan di Jakarta Selatan. Meski pernah beberapa kali melewati kawasan ini, tetap saja daerah itu relatif asing bagi penulis. Maka tak heran timbul perasaan waswas. Namun perjalanan tetap harus dilanjutkan, bagaimana pun caranya.
Maka penulis pun menyusuri Trotoar. Tak lama kemudian, penulis menemukan bagunan yang di atasnya tertempel  logo sebuah toko farmasi yang cukup terkenal. Maka, tanpa ragu-ragu penulis melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun cukup besar untuk rata-rata ukuran toko yang pernah penulis temui. Di dalam took, penulis membeli sejumlah obat. Setelah itu, penulis duduk di sebuah bangku dan memesan Gojek. Tak lama kemudian, Gojek yang siap mengantar penulis pulang telah tiba.
Penulis sangat mengapresiasi sikap supir Gojek yang radiator motornya rusak itu. Bagi penulis, ia sadar dengan tanggung jawab yang diembannya. Ia bertanggung jawab memastikan penumpang yang dibawanya sampai di tujuan dengan selamat. Bila ia berhasil melaksanakannya, ia berhak mendapatkan imbalan, dalam hal ini berupa ongkos dari penumpang. Namun bila sebaliknya, ia tidak layak memperolehnya, bahkan dapat dikenai sanksi. Dalam hal ini, ia menggratiskan biaya menumpang Gojek bagi penulis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab memiliki arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Termasuk tidak memperoleh imbalan apapun akibat  kegagalan menanggung sesuatu yang dibebankan. Juga rela segala fasilitas dan kenikmatan yang diperoleh yberkaitan dengan tanggung jawabnya dicabut. Contoh sederhananya, seorang supir digaji untuk  bertanggung jawab mengantar dan menjemput anak majikannya ke dan dari sekolah. Ia harus memastikan bahwa si anak bisa tiba di sekolah dan pulang ke rumah dengan selamat. Jika terjadi apa-apa dengan si anak, si supir harus siap untuk tidak digaji, bahkan diberhentikan dari pekerjaannya.
Sayang sekali, di negeri tercinta ini masih banyak orang yang tidak menyadari atau tidak peduli dengan soal tanggung jawab ini. Artinya, mereka tidak mau menerima konsekuensi dari sikap, perbuatan, dan kebijakan yang mereka telurkan sendiri. Sebagai contoh, banyak pejabat yang tidak mau mundur meski terus menjadi sorotan publik karena dianggap gagal menjalankan tugasnya. Kalaupun mundur, ia melakukannya dengan terpaksa karena desakan yang begitu kuat.  Mereka enggan melepaskan jabatan karena masih ingin menikmati berbagai fasilitas dan prestise. Sedangkan bila ia berhenti, segala fasilitas tersebut harus ditarik dari dirinya.
Di Jepang atau Korea Selatan (Korsel), jamak kita temui pejabat yang mengundurkan diri dengan sukarela karena merasa dirinya gagal mengemban amanah. Penulis pernah mendengar cerita seorang Menteri Perhubungan Jepang mengundurkan diri hanya kara terjadi kecelakaan kereta. Padahal bila diselidiki lebih lanjut, belum tentu kecelakaan itu diakibatkan oleh kesalahannya. Namun ia sadar bahwa tanggung jawab tertinggi masalah transportasi ada padanya.
Terakhir, seseorang boleh saja lolos dari kewajiban bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahannya di dunia ini. Mungkin dia punya uang, koneksi, kemampuan bersilat lidah, dan sebagainya. Namun tiada satu manusia pun yang dapat lepas dari tanggung jawab di hari kemudian, di pengadilan yang dipimpin oleh Yang Maha Adil. Pengadilan yang tak mengenal lagi mafia, uang suap, nepotisme, dan kolusi.
                   


Kamis, 28 Januari 2016

Guru dan Iimu



“Jadikanlah setiap pengalaman sebagai pelajaran”
Itulah nasihat ayah tadi siang, menanggapi aktivitas dan perjalanan saya pagi ini. Sebuah nasihat yang terdengar klise, namun tak dapat dipungkiri tetap relevan.
Saya sedang mengikuti proses seleksi di sebuah lembagai pendidikan. Dalam hati, saya bertekad untuk meneruskannya, apa pun hasilnya. Saya ingin menggali lebih banyak informasi mengenai lembaga ini. Kalau pun proses seleksi harus terhenti, paling tidak pengetahuan dan pengalaman saya semakin bertambah. Kalau berhasil?Lihat sajalah nanti. Ada banyak pertimbfangan yang harus dipikirkan.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitu kata pepatah. Bicara tentang ilmu, tak terbantahkan guru merupakan sosok sentral, bahkan sejajar dengan pengalaman. Meski di zaman sekarang ilmu pengetahuan amat mudah dan murah diakses seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), guru tetap dibutuhkan. Yang utama adalah sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator.                   
Bicara tentang guru, saya teringat kisah yang dipaparkan dalam novel Ranah Tiga Warna karya Ahmad Fuadi.   Dalam novel tersebut, Alif Fikri, sang tokoh utama, ingin belajar menulis kepada Togar, seniornya. Saat Alif menyerahkan hasil tulisannya kepada Togar, bukannya pujian-pujian yang didapatkan melainkan celaan. Diperlakukan demikian, mental Alif sempat jatuh. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berhenti berguru kepada Togar. Namun kemudian ia teringat dengan petuah Imam Syafii tentang menuntut ilmu. Menurut Imam Syafii, menuntut ilmu itu perlu banyak hal, misalnya rakus dengan ilmu, waktu yang panjang, dan hormat pada guru. “Ah, saya kan bisa cari guru lain”, demikian pikir Alif. “Lalu kalau demikian, apa niatmu?Kalau mau berguru, ya iklaskanlah dirimu diajar oleh dia”.   Akhirnya Alif memutuskan untuk tetap berguru kepada Togar, dengan segala konsekuensinya. Belakangan, ia tahu sebenarnya Togar baik hati meski kerap tanpa basi-basi. Ia hanya ingin anak didiknya serius dengan niatnya. Jika anak didiknya serius, ia benar-benar siap membantu. Dengan kata lain, anak didiknya itu harus tamak dengan ilmu, bunya semangat membara untuk mencari ilmu.
Namun kita tentu tidak boleh sembarang memilih guru. Guru yang baik bukanlah sekedar memiliki pengetahuan dan keterampilan, namun juga sikap dan tingkah laku. Yang utama tentu bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Inilah fondasi yang utama. Dengan takwa yang sebenar-benarnya akan tertanamlah sifat jujur, disiplin, tidak egois, sabar, bertanggung jawab, bersyukur, dan sederet sifat-sifat terpuji lainnya. Jangan mencari guru yang menyelewengkan ayat-ayat Allah untuk menyesatkan orang dan demi kepentingan pribadi. Termasuk mengajarkan paham-paham yang menyimpang.
Syarat berikutnya adalah biaya. Ini sudah jelas dengan sendirinya. Masuk sekolah dan kuliah perlu biaya. Membeli buku, majalah, cakram padat, materi daring (online), dan koran perlu biaya.  Terhubung dengan internet perlu biaya. Berpetualang untuk meraih pengalaman perlu biaya. Seminimal-minimalnya, kita butuh biaya transportasi.      
Orang yang menuntut ilmu harus memiliki kecerdasan. Menuntut ilmu bertujuan untuk menambah kecerdasan, bukan menciptakan kecerdasan. Di samping anugerah Allah sebagai dasar, kecerdasan dapat diperoleh misalnya dengan membaca, menulis, melakukan diskusi ilmiah, dan mengajarkan hal-hal yang sudah kita ketahui meskipun hanya sedikit. Sayangnya minat membaca dan menulis rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah. Hal ini tentu menghalangi diraihnya ilmu dan pengetahuan,  yang menjadi bekal menambah kecerdasan.
Orang yang mencari ilmu tidak jarang menjumpai berbagai hambatan, misalnya hambatan finansial, minimnya dukungan dari orang-orang sekitar, dan godaan-godaan yang bersifat duniawi. Untuk menghadapinya diperlukan kesabaran. Sabar bukan berarti pasif, menyerah, dan bermalas-malasan, melainkan tidak berputus asa mencaru jalan keluar dari kesulitan dan tidak tergoda degan hal-hal yang merusak perjalanan mencari ilmu.
Dengan selalu haus akan ilmu, menjalani waktu, guru yang tepat, biaya yang cukup, ada kecerdasan, dan kesabaran, Insya Allah ilmu akan bertambah.

Minggu, 27 Desember 2015

Tak Mau Menodai Nilai



“Mau pesan isi berapa?”
“Sory baru balas”
“Isi 15 aja”
“Tulisannya “Merry Xmas mama Tisya”
“Mohon maaf. Kami tidak bisa melayani ucapan natal”
Itu adalah dialog pesan singkat antara Tyok Aditya Setyo dengan Toko Donat Mungil Malang. Tyok kemudian menempelkan dialog tersebut di dinding akun Facebook miliknya. Inti percakapan tersebut adalah: Donat mungil menolak permintaan Tyok untuk menuliskan ucapan selamat natal pada donat yang dipesannya.
Segera saja sikap Donat Mungil ini ramai menjadi bahan perbincangan pengguna internet. Banyak yang menghujat kebijakan ini. Donat Mungil pun ramai-ramai dirundung di media sosial. Munculah tulisan-tulisan seperti, “Fanatik amat sih...", "Ganti jeneng ae Donat Islam Ekstrimis", dan "utek e cekak wong si dodol". Donat Mungil dianggap tidak toleran karena tidak mau menuliskan ucapan Selamat Natal sesuai keinginan pemesan.
Namun tak sedikit pula yang membela. Di antaranya adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Luthfi Bashori. Menurut Luthfi, seperti dikutip www.hidayatullah.com, apa yang dilakukan oleh pemilik toko sudah sesuai dengan tuntunan Islam. Lagi pula, menurut Kiai Luthfi, keputusan pemilik Donat Mungil merupakan hak individu dalam bermuamalah berdasarkan tuntunan agama yang dianut.
Menanggapi kebijakan yang kontroversial ini, Putri Priyanti, pemilik Donat Mungil, mengatakan bahwa hal itu ia lakukan murni karena keyakinan dirinya sebagai seorang Muslim. Menghadapi kritikan dan cacian yang diterimanya, ia mengatakan mengambil hal positifnya saja. Ia pun tak takut omzet penjualan usaha miliknya akan turun.
Tidak. Penulis tidak akan mengulas masalah hukum mengucapkan selamat natal dalam tulisan ini.   Tentu ada yang lebih berkompeten dan terpercaya melakukannya, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam dan hati yang bersih. Silakan baca diskusi tentang masalah ini di tempat lain. Tak sulit menemukannya.
Bagi penulis, apa yang dilakukan oleh pemilik Donat Mungil adalah cerminan dari nilai yang dianutnya. Dalam kaitannya dengan budaya sebuah organisasi, nilai-nilai pribadi yang digenggam pemilik atau pemimpin kerap terejawantahkan dalam sikap, tingkah laku, dan kebijakannya terhadap organisasi. Nilai-nilai ini akan menjadi panduan dalam menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, pantas dan tidak pantas dikerjakan. Nilai-nilai ini berbeda bagi masing-masing individu dan organisasi. Pepatah “lain padang, lain belalang” berlaku di sini. Jadi, penolakan pemilik Donat Mungil untuk menuliskan ucapan Selamat Natal pada kue yang dipesan pelanggannya berakar dari nilai pribadi yang menekankan betapa pentingnya menjaga akidah atau keyakinan pokok Islam. Jangan sampai ada hal-hal sekecil apapun, yang menodai keyakinan pokok ini. Namun nilai ini kerap tidak berlaku bagi orang lain. Tentu kita banyak menjumpai produsen yang tidak berkeberatan menerima pesanan bertulisan ucapan selamat natal, meski pemiliknya seorang Muslim. Bagi para pedagang ini, sah-sah saja menerima pesanan yang demikian.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kebijakan yang dinilai kontroversial oleh sebagian orang ini akan mampu menarik minat pembeli, khususnya kalangan muslim? Ini yang masih harus dibuktikan. Pemilik Donat Mungil boleh saja berkeyakinan donat yang dijualnya akan tetap laku. Namun semata-mata mengandalkan sentimen keagamaan rasanya absurd. Pasalnya, begitu banyak produsen donat di negeri ini, mulai dari skala raksasai hingga liliput. Banyak dari mereka yang meski tidak menonjolkan simbol-simbol agama, namun menjajakan produk halal, baik zatnya, perolehannya, pengolahannya, hingga penyajiannya. Jika tidak puas dengan Donat Mungil, tentu mereka akan berpaling ke toko lain.
Oleh karenanya, di samping mengandalkan simbol suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), nilai-nilai bisnis yang universal semisal pelayanan prima pada pelanggan, kualitas produk, kebersihan, kesejahteraan karyawan, dan kejujuran wajib diterapkan. Tanpa itu semua, cepat atau lambat perusahaan akan ditinggalkan oleh pelanggan.